Rabu, 13 Juni 2012

Contoh skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen


PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
DALAM PERJANJIAN SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECOND HAND
BERDASARKAN PASAL 18 UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis

Oleh :
DAHNUM MANGUNSONG
11033198



 








UNIVERSITAS ASAHAN
FAKULTAS EKONOMI
KISARAN - 2012
 
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................            i
Daftar Isi.......................................................................................................           ii
Abstraksi.......................................................................................................          iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................           1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................           5
C. Tujuan Penelitian.........................................................................................           5
D. Manfaat Penulisan.......................................................................................           5
E. Metode Penulisan........................................................................................           6
F. Sistematika Pembahasan..............................................................................         10
BAB II : TINJAUAN UMUM
A. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen....................................................         11
B. Dealer sebagai Pelaku Usaha.......................................................................         17
C. Sepeda Motor Second Hand .....................................................................         21
D. Perjanjian Sewa Beli...................................................................................         22
E. Ketentuan Pencantuman Klausula Baku berdasarkan Pasal 18
    Undang-Undang Perlindungan Konsumen.....................................................         29
BAB III : PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Perusahaan.....................................................................         34
B. Prosedur Sewa Beli Sepeda Motor Second hand pada Dealer ‘FIF Motor’ 40
C. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Sewa Beli Sepeda Motor Second Hand Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ........         43
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................         45
B. Saran..........................................................................................................         46
Daftar Pustaka


KATA PENGANTAR
Segala hormat dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dipersembahkan karena atas rahmat dan kasih Nya, maka penulisan skripsi dengan
judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN SEBAGAI KORBAN DALAM PERJANJIAN SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECOND HAND dapat terselesaikan.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat dalam tugas mata kuliah Hukum Bisnis pada Fakultas Ekonomi Universitas Asahan. Banyak hambatan yang dialami dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun bantuan dan dukungan dari berbagai pihak tidak pernah surut sehingga memberikan semangat pada penulis. Oleh karena itu, ucapan terimakasih disampaikan sedalam-dalamnya
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan yang bersumber dari kekurangan dan keterbatasan penulis, oleh karenanya harap diberikan maklum.
Akhir kata penulis berharap bahwa skripsi ini akan berguna dan menjadi masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Kisaran,      Mei 2012
Penulis


DAHNUM MANGUNSONG
NIM : 11033198
ABSTRAKSI
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Sewa Beli Sepeda Motor Second Hand Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Seiring dengan meningkatnya permintaan kendaraan khususnya jenis sepeda motor di Kota Malang menjadikan pelaku usaha dealer bersaing meningkatkan penjualan baik sepeda motor baru maupun bekas (second hand). Barbagai fasilitas kemudahan diberikan untuk mempermudah konsumen dalam mendapatkan sepeda motor yang diinginkannya. Salah satu kemudahan yang diberikan yaitu fasilitas pembelian secara kredit dengan sistem sewa beli. Dengan sistem sewa beli, konsumen hanya perlu membayar uang muka dan menandatangani perjanjian sewa beli untuk mendapatkan sepeda motor yang diinginkannya dengan segera, tanpa memperhatikan bahwa isi perjanjian sewa beli yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha akan dapat merugikan konsumen.Untuk melindungi konsumen dari perjanjian baku yang dibaut oleh pelaku usaha, maka ditetapkan dalam Pasal 18 UUPK tentang larangan pencantuman klausula baku yang merugikan konsumen. Penelitian yang dilaksanakan adalah untuk mengetahui bagaimana proses kegiatan sewa beli sepeda motor second hand melalui perjanjian sewa beli yang dilaksanakan oleh dealer FIF Motor serta bagaimana perlindungan hukum yang didapatkan konsumen sepeda motor second hand melalui perjanjian sewa beli berdasarkan Pasal 18 UUPK. Dalam melakukan penelitian digunakan metode pendekatan secara metode pendekatan yuridis sosiologis yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata di masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta, kemudian dilanjutkan dengan menemukan masalah, kemudian menuju kepada identifikasi masalah dan pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, diketahui bahwa prosedur sewa beli pada Dealer FIF Motor telah ditetapkan dalam perjanjian Sewa Beli yang dilaksanakan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan. Mengenai perlindungan hukum yang didapatkan konsumen dalam Perjanjian Sewa Beli pada Dealer FIF Motor dapat dilaksanakan dengan baik disebabkan tepatnya kebijaksanaan perusahaan yang diberikan bagi konsumen yang bermasalah, meskipun belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Diperlukan kebijakan yang dilaksanakan secara tegas dan konsisten dalam pengaturan sistem sewa beli yang semakin berkembang di masyarakat agar hak-hak konsumen dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kebijaksanaan perusahaan yang baik dan tidak terlalu merugikan konsumen akan sangat membantu proses kesetaraan kedudukan antara pelaku usaha/penjual sewa dan konsumen/pembeli sewa dalam Perjanjian Sewa Beli.

DAFTAR PUSTAKA
Erman Rajagukguk,dkk. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung. Mandar Maju.
Gosita, Arif. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta. Bhuwana Ilmu Populer.
Nasution, AZ. 1995. Konsumen dan Hukum. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan Hak -Hak Jaminan Kebendaan. Bandung. Citra
Aditya Bakti.Bandung. Citra Aditya Bakti.
---------------. 2002. Pelaku Usaha, Konsumen Dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KEPMEN Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan
Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa
(Renting)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti pada umumnya kota besar, lalu lintas Kota Tanjung Balai tergolong padat. Kepadatan mencapai puncaknya pada jam-jam sibuk, terutama pada saat orang berangkat ke tempat kerja, pulang kerja, atau akhir minggu. Sebagai salah satu tujuan pendatang sehingga laju pertumbuhan penduduk berjalan sangat cepat. Dengan cepatnya laju pertumbuhan penduduk dan tingginya tingkat mobilisasi di Tanjung Balai tentu saja menyebabkan permintaan terhadap alat transportasi pun meningkat, baik kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Dalam konteks angkutan umum, bertambahnya jumlah penduduk berarti ada tuntutan akan perlunya penambahan armada angkutan umum sehingga secara kumulatif, jumlah kendaraan di Tanjung Balai bertambah banyak. Karena dengan menggunakan kendaraan roda empat seringkali terjebak kemacetan sehingga berakibat terlambat tiba di tempat kerja, sejumlah warga pun lebih memilih menggunakan kendaraan roda dua, khususnya sepeda motor. Jenis kendaraan roda dua bukan saja lebih efisien dari segi biaya namun kelincahan, kegesitan dan fleksibilitasnya dalam menyesuaikan diri dalam berbagai medan jalan juga membuat sepeda motor banyak diminati berbagai kalangan masyarakat khususnya menengah kebawah. Harganya yang relatif terjangkau oleh semua lapisan masyarakat memungkinkan jenis kendaraan roda dua untuk menjadi sarana mobilitas yang bersifat pribadi. Dengan bentuknya yang ramping, sepeda motor dapat dengan lincah menerobos kemacetan, sehingga penggunanya lebih cepat sampai ke tujuan. Dari segi biaya, menggunakan transportasi umum membutuhkan biaya yang lumayan besar jika dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak dua kali berturut-turut sepanjang tahun 2011 juga semakin menambah alasan meningkatnya permintaan kendaraan sepeda motor di Sumatera Utara. Masyarakat di Sumatera Utara lebih memilih sepeda motor sebagai sarana transportasi, karena selain lebih hemat biaya jika dibandingkan dengan naik kendaraan umum angkutan kota, semakin banyaknya dealer sepeda motor yang menawarkan berbagai macam fasilitas dan kemudahan semakin menambah minat warga di Tanjung Balai untuk memiliki sepeda motor baik secara tunai maupun kredit.
Dengan menggunakan kejelian membaca kebutuhan masyarakat akan alat transportasi yang efisien, maka dealer-dealer berusaha menawarkan berbagai kemudahan memiliki sepeda motor. Mulai dengan penawaran berbagai macam hadiah, uang muka yang sangat terjangkau sampai dengan garansi pemeliharaan kendaraan. Bagi dealer-dealer atau penyalur kendaraan bermotor, situasi ini sekaligus sebagai peluang untuk meningkatkan penjualan. Untuk pembelian sepeda motor baru, fasilitas kredit bunga ringan serta uang muka di bawah satu juta telah menjadi faktor pemikat yang mendorong konsumen mendatangi dealer sepeda motor produksi terbaru.
Persyaratan kredit yang mudah serta uang muka kurang dari Rp 1 juta, menjadi kunci pendukung meningkatnya tingkat penjualan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan sepanjang tahun 2012, hanya dengan uang muka Rp 250.000,- konsumen sudah dapat memiliki sepeda motor baru secara kredit dengan jangka waktu cicilan antara 1 hingga 3 tahun, bahkan ada perusahaan pembiayaan yang memberikan fasilitas kredit tanpa uang muka. Semakin banyaknya peminat sepeda motor, membuat dealer terus berupaya memberikan fasilitas kredit hingga ke motor bekas dengan fasilitas kredit murah. Kemudahan yang juga diberikan terhadap sepeda motor bekas ini diberikan karena tidak sedikit konsumen yang lebih memilih membeli sepeda motor bekas dibandingkan dengan sepeda motor produksi terbaru.
Ada berbagai alasan mengapa konsumen lebih memilih sepeda motor bekas daripada sepeda motor yang masih baru, diantaranya adalah karena harga sepeda motor bekas yang relatif lebih murah dan juga adanya kepercayaan di masyarakat bahwa sepeda motor produksi lama memiliki mesin yang lebih awet dan kuat jika dibandingkan dengan mesin sepeda motor baru. Untuk dapat memberikan fasilitas-fasilitas kemudahan tersebut dan untuk memperkecil resiko terhadap penjualan dengan sistem pembayaran secara kredit, maka dealer yang menjual sepeda motor baru bekerjasama dengan perusahaan pembiayaan yang biasanya masih berada dalam satu anak perusahaan dengan produsen sepeda motor. Demikian pula dengan dealer yang menjual sepeda motor bekas, mereka juga dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan pembiayaan yang ada.
Disamping itu ada pula pelaku usaha dealer yang menangani penjualan sepeda motor dengan sistem pembayaran secara kredit yang pembiayaannya dilakukan oleh dealer itu sendiri. Dalam pembelian secara kredit ini, dealer mempergunakan dokumen Perjanjian Sewa Beli. Melalui perjanjian pembiayaan yang merupakan perjanjian sewa beli, dalam sekejap konsumen dapat segera dan dengan mudah mendapatkan sepeda motor bekas yang diinginkannya. Konsumen hanya perlu membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian sewa beli yang sudah dibuat dan dipersiapkan oleh pihak dealer/pelaku usaha sebelumnya. Namun, tidak banyak konsumen yang menyadari adanya konsekuensi dan berbagai kemungkinan negatif dibalik berbagai kemudahan yang ditawarkan.1 Sepanjang berlakunya perjanjian tersebut, konsumen dapat saja dibelit berbagai masalah. Dimata hukum, konsumen belumlah menjadi pemilik kendaraan. Selama semua angsuran belum dilunasi, konsumen hanyalah berstatus peminjam atau penyewa saja. Masalah akan muncul apabila konsumen tertunda membayar angsuran. Kedudukan konsumen dalam perjanjian sewa beli dalam hal ini menjadi sangat lemah jika dibandingkan dengan kedudukan dealer/pelaku usaha yang merupakan pemilik/penjual.
Masalah lainnya adalah ketika terjadi pencurian atau rusaknya kendaraan karena kecelakaan. Seringkali dealer menolak menanggung biaya perbaikan atau pencarian atas sepeda motor yang hilang tersebut, sehingga konsumen semakin merasa dirugikan karena perjanjian yang ada. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang untuk selanjutnya akan disebut UUPK ) yaitu pada Pasal 18 tentang ketentuan pencantuman klausula baku disebutkan hal-hal yang dilarang bagi pelaku usaha dalam suatu perjanjian yang dapat merugikan konsumen.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang perlindungan hukum terhadap konsumen sepeda motor bekas (second hand) melalui perjanjian sewa beli, maka dalam skripsi ini akan dibahas tentang “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECOND HAND BERDASARKAN PASAL 18 UNDANGUNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah-masalah yang akan dikaji lebih dalam antara lain:
1. Bagaimana proses kegiatan sewa beli sepeda motor second hand melalui perjanjian sewa beli yang dilaksanakan oleh dealer FIF Motor?
2. Bagaimana perlindungan hukum yang didapatkan konsumen sepeda motor second hand melalui perjanjian sewa beli berdasarkan Pasal 18 UUPK ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan yang akan dilaksanakan antara lain yaitu :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji proses kegiatan sewa beli sepeda motor second hand melalui perjanjian sewa beli yang dilaksanakan oleh dealer FIF Motor.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian sewa beli sepeda motor second hand berdasarkan Pasal 18 UUPK .

D. Manfaat Penulisan
1. Teoritis
Melalui penelitian yang akan dilakukan, diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai hukum perlindungan konsumen secara umum dan khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian sewa beli sepeda motor second hand berdasarkan Pasal 18 UUPK .

2. Praktis
a. Masyarakat
Penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran mengenai perlindungan hukum yang seharusnya diterima oleh konsumen sepeda motor second hand melalui perjanjian sewa beli berdasarkan Pasal 18 UUPK , sehingga perlindungan yang  didapatkan oleh konsumen dalam perjanjian sewa beli sepeda motor second hand dapat dilakukan seoptimal mungkin.

b. Aparat
Penelitian yang dilakukan diharapkan akan dapat memberikan pengetahuan baru bagi para penegak hukum mengenai permasalahan-permasalahan dalam perjanjian sewa beli dalam prakteknya agar dapat memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi konsumen sepeda motor second hand dan solusi terhadap permasalahan yang ada.


E. Metode Penulisan

1. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang akan dipakai dalam penelitian berdasarkan Pasal 18 UUPK ini adalah metode pendekatan yuridis sosiologis yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata di masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta, kemudian dilanjutkan dengan menemukan masalah, kemudian menuju kepada identifikasi masalah dan pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah.

2. Lokasi Penelitian
Ditengah banyaknya dealer sepeda motor second hand di Kota Tanjung Balai yang tidak berani menanggung resiko besar sehingga bekerjasama dengan perusahaan pembiayaan, maka penelitian akan dilaksanakan pada Dealer ‘FIF Motor’ yang berlokasi di Jl. Sudirman, Kota Tanjung Balai dengan alasan bahwa berdasarkan prasurvey yang telah dilakukan pada beberapa dealer sepeda motor di Kota Tanjung Balai, Dealer ‘FIF Motor’ tersebut diatas adalah merupakan dealer yang melayani jual beli sepeda motor bekas (second hand) berbagai merk baik secara kredit dengan pembiayaan yang dilakukan sendiri oleh pelaku usaha dealer dengan mempergunakan dokumen Perjanjian Sewa Beli.

3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan/himpunan obyek dengan ciri-ciri yang sama. Dalam penelitian yang akan dilaksanakan adalah meliputi dealer sepeda motor sebagai pelaku usaha serta konsumen dealer sepeda motor.
b. Sampel
Cara mengambil sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang ditujukan kepada responden yang dikehendaki dan dianggap mewakili serta dapat memberikan keterangan yang mengarah sehingga memperoleh data yang faktual. Penentuan sampel dilakukan terhadap beberapa responden diantaranya :
1) Direktur Utama Dealer ‘FIF Motor’ sebagai pelaku usaha sepeda motor second hand
2) 1 orang karyawan bagian administrasi pada Dealer ‘FIF Motor’
3) 5 konsumen yang pernah menjadi pihak dalam perjanjian sewa beli sepeda motor second hand

4. Jenis dan Sumber Data
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pihak-pihak yang berkaitan dengan obyek penelitian. Dalam penelitian ini, data primer akan didapatkan dari dealer sepeda motor second hand yang mempergunakan dokumen Perjanjian Sewa Beli.
b. Data Sekunder akan diperoleh dari buku, dokumen, surat kabar, dan literatur yang ada serta peraturan perundang-undangan yang relevan, dalam hal ini meliputi Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) serta Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting).

5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian akan dilaksanakan dengan cara:
a.  Data primer akan diperoleh dengan melakukan wawancara (interview) yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman serta dikombinasikan dengan sistem terbuka sehingga pertanyaan-pertanyaan yang belum tercantum pada daftar pertanyaan dapat langsung ditanyakan oleh penulis sehingga mendapatkan keterangan yang lebih jelas dan terperinci. Wawancara akan dilakukan dengan pimpinan dealer FIF Motor, karyawan bagian administrasi serta konsumen sepeda motor second hand yang pernah mengalami permasalahan dengan dealer berkaitan dengan Perjanjian Sewa Beli sepeda motor yang dibelinya.
b.  Data sekunder akan diperoleh dengan melakukan studi dokumentasi yaitu suatu metode dimana penulis akan mengumpulkan data dengan cara membaca, mempelajari dokumen dan arsip maupun catatan penting lainnya yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti.


    6. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisa data, akan digunakan teknik deskriptif analisis yaitu dengan memaparkan atau menggambarkan hasil studi lapangan dan hasil studi literatur, kemudian menganalisa data yang diperoleh dan selanjutnya digunakan untuk membahas permasalahan yang ada sehingga mampu memberikan gambaran empirik dan faktual, baik yang bersifat yuridis maupun yang bersifat sosiologis tentang tanggung jawab pelaku usaha dealer sepeda motor second hand terhadap konsumen dalam perjanjian sewa beli sepeda motor second hand.

F. Sistematika Pembahasan
Dalam melakukan pembahasan, akan dibagi dalam empat bagian penulisan dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I :     Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, serta Sistematika Pembahasan.
BAB II : Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum terhadap Konsumen, Dealer sebagai Pelaku Usaha, Sepeda Motor Second hand, Perjanjian Sewa Beli serta Ketentuan Pencantuman Klausula Baku pada Pasal 18 UUPK .
BAB III : Pembahasan yang meliputi Proses Sewa Beli Sepeda Motor Second hand dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen oleh Dealer Sepeda Motor Second hand berdasarkan Pasal 18 UUPK .
BAB IV :  Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.

BAB II
TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECOND HAND BERDASARKAN PASAL 18 UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN


A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
1. Perlindungan Hukum
a.  Pengertian perlindungan hukum adalah melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang, maka oleh karenanya setiap pelanggaran hak yang dituduhkan padanya dan pembelakangan yang dideritanya, ia berhak pula untuk mendapatkan yang diperlukan, sesuai dengan azas negara hukum.
b. Menurut Satjipto Raharjo, Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat, agar dapat mereka nikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
c. Perlindungan hukum menurut Adnan Buyung Nasution, adalah melindungi harkat dan martabat manusia dan melindungi sesuatu dari 8 Mukadimah Konsep Penyempurnaan Anggaran Dasar, Peraturan Rumah Tangga, Kode Etik Advokad, Hukum Acara Dewan Kehormatan, untuk disahkan Kongres ke-6 Peradilan di Bandung, 4 – 6 Juni 1981, Panitia Penyelenggara Peradilan pemerkosaan, yang dasarnya serangan hak kepada orang lain telah melanggar dari aturan norma hukum dan undang-undang.
Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian perlindungan hukum adalah segala upaya hukum yang wajib diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman baik secara fisik maupun mental dari ancaman, gangguan, teror atau kekerasan dari pihak manapun berdasarkan asas negara hukum.
Dengan adanya pengakuan jaminan pemberian perlindungan tersebut diharapkan korban mendapatkan perlindungan hukum dimana perlindungan yang diberikan oleh hukum terkait dengan adanya hak dan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen dan pelaku usaha dalam kegiatannya.

2. Konsumen
a. Pengertian Konsumen
Konsumen yaitu setiap orang atau pembeli atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial. bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Selanjutnya untuk mempertegas makna dari barang dan/atau jasa yang dimaksudkan, UUPK juga memberikan definisi dari barang yaitu setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Menurut Shidarta, konsumen dapat juga diartikan setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Masyarakat umum mengartikan konsumen sebagai pembeli, penyewa, nasabah dari suatu lembaga jasa perbankan/asuransi, penumpang dari angkutan kota, pelanggan suatu perusahaan, dan masih banyak lagi lainnya.
Pengertian yang diberikan oleh masyarakat tersebut tidaklah salah sebab secara yuridis dalam hukum positif Indonesia terdapat subyek 12 Gunawan Widjaja. hukum yang dianggap sebagai konsumen. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata digunakan istilah pembeli (Pasal 1457 dst), penyewa (Pasal 1548 dst), peminjam pakai (Pasal 1470 dst) dan lain sebagainya. Semuanya memang dimaksudkan sebagai konsumen, pengguna barang dan jasa, namun tidak jelas apakah konsumen antara ataukah konsumen akhir.
Sesuai dengan ruang lingkup UUPK, menurut Shidarta ada 2 jenis konsumen diantaranya konsumen akhir (end consumer) yaitu setiap orang yang langsung mengkonsumsi barang dan atau jasa dan konsumen antara (intermediate consumer) yaitu setiap konsumen yang membeli suatu barang untuk kemudian dijual kembali kepada end consumer. UUPK hanya melindungi konsumen akhir sedangkan konsumen antara tidak dilindungi oleh UUPK karena telah diatur dalam peraturan-peraturan tentang perdagangan.
Berdasarkan pengertian ‘konsumen’ yang ada, maka secara umum konsumen dapat diartikan secara luas maupun sempit. Secara luas, konsumen mencakup semua pemakai barang dan atau jasa, yang berarti pengertian ini tidak dibatasi apakah penggunaan barang dan atau jasa tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhannya atau untuk didistribusikan lagi kepada orang lain. Sedangkan secara sempit, pengertian konsumen mengacu pada konsumen akhir.
Lahirnya UUPK merupakan implementasi dari upaya untuk untuk melindungi kepentingan konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen identik dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen, artinya sebelum lahirnya UUPK kepentingan pelaku usaha dianggap lebih penting daripada hak-hak dan kepentingan konsumen serta jika terjadi penindasan terhadap hak-hak konsumen, untuk pemidanaannya tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.
Adanya UUPK diharapkan dapat menjadi dasar hukum yang kuat dalam upaya pemerintah membenahi posisi konsumen yang selalu dilemahkan oleh pelaku usaha agar dapat berada di posisi yang sejajar dengan pelaku usaha.
Dalam usaha untuk membenahi posisi konsumen yang selama ini selalu dilemahkan oleh pelaku usaha, maka UUPK mengatur tentang hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
a. Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak konsumen menurut Pasal 4 UUPK :
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
2)  Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3)  Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
4)  Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang dipergunakan
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
6)  Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
8)  Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sebagaimana mestinya 9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UUPK :
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha menurut Pasal 6 UUPK :
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik
3)  Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4) Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
5)  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya Kewajiban  pelaku usaha menurut Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen:
1)   beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2)  memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3)  memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak  diskriminatif
4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/jasa yang berlaku
5)  memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan
6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
7) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
B. Dealer sebagai Pelaku Usaha
Pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Sebagai suatu jenis usaha yang melayani jual beli maka dealer dapat digolongkan sebagai pelaku usaha. Hal ini dapat kita lihat bahwa berdasarkan pengertian pelaku usaha yang ada dalam UUPK maka dealer telah memenuhi unsur-unsur sebagai pelaku usaha diantaranya:
a.   setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum Dealer sebagai subyek hukum, sesuai dengan jenis subyek hukum yaitu orang perorangan ataupun badan usaha yang memiliki hak dan kewajiban dalam hukum.
b. yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia Bahwa dealer tersebut berada di wilayah Negara Republik Indonesia
c. baik sendiri maupun bersama-sama Sebagai jenis usaha yang harus menyediakan dana besar, maka tidak jarang dealer didirikan oleh beberapa orang atau bahkan bisa oleh satu orang yang memiliki dana besar
d.  melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha Dalam suatu jenis usaha, biasanya diadakan suatu perjanjian kerjasama untuk menjalankan suatu usaha.
e. dalam berbagai bidang ekonomi Dalam bidang ekonomi dapat berarti menjalankan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan laba.
Dengan demikian pelaku usaha dapat berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk.

C. Pengertian Sepeda Motor Second hand

1. Sepeda Motor
Sebagai salah satu jenis alat transportasi, kendaraan bermotor roda dua sangat banyak dan mudah kita jumpai. Namun, dalam bahasa sehari-hari, kendaraan bermotor roda dua biasa disebut sepeda motor. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘sepeda’ berarti kendaraan beroda dua atau tiga yang mempunyai stang, tempat duduk dan sepasang pengayuh yang digerakkan kaki untuk menjalankannya. Sedangkan pengertian sepeda motor yaitu sepeda yang dijalankan dengan motor.16 Untuk memahami pengertian kendaraan bermotor roda dua, maka terlebih dahulu akan dijelaskan arti dari kendaraan, dan kendaraan bermotor berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi :
a. kendaraan adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor (Pasal 1 angka 2)
b. kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu. (Pasal 1 angka 3) Peralatan teknik dalam pengertian ini dapat berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. Pengertian kata ‘berada’ dalam ketentuan tersebut adalah terpasang pada tempat sesuai dengan fungsinya. Termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor adalah kereta gandengan atau kereta tempelan yang dirangkaikan dengan kendaraan bermotor sebagai penariknya.
Definisi sepeda motor menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi yaitu kendaraan bermotor roda dua atau tiga tanpa rumah-rumah baik dengan atau tanpa kereta samping. Maksud dari rumah-rumah disini adalah bagian dari kendaraan bermotor jenis mobil penumpang atau mobil bus atau mobil barang yang berada pada landasan berbentuk ruang muatan, baik untuk orang maupun barang.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, untuk memenuhi kriteria dari kendaraan bermotor roda dua atau jenis sepeda motor itu maka harus dipenuhi persyaratan teknis antara lain:
a. kendaraan bermotor yang dioperasikan dijalan harus memiliki motor penggerak yang mempunyai daya untuk dapat mendaki pada jalan tanjakan dengan kecepatan minimum 20 km per jam pada segala kondisi jalan (Pasal7)
b. pada motor penggerak itu harus dibubuhkan nomer motor penggerak yang ditempatkan secara permanen pada bagian tertentu dan mudah dilihat serta dibaca (Pasal 8)
c. setiap kendaraan jenis sepeda motor yang menggunakan bahan bakar bensin atau bahan bakar cair lainnya yang mudah terbakar, maka harus memiliki tangki bahan bakar, corong pengisi dan lubang udara bahan bakar serta pipa-pipa yang berfungsi menyalurkan bahan bakar (Pasal 10) 16 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
d. kendaraan bermotor jenis sepeda motor juga harus memiliki sistem pembuangan yang terdiri dari manifold, peredam suara dan pipa pembuangan yang tidak menonjol melewati sisi samping atau sisi belakang kendaraan bermotor (Pasal 13 ayat 1)
e. setiap kendaraan jenis sepeda motor harus dilengkapi dengan alat penerus daya yang memungkinkan kendaraan bermotor itu bergerak maju dengan satu atau lebih tingkat kecepatan yang dapat dikendalikan dari tempat duduk kemudi (Pasal 14)
f. dalam kendaraan jenis sepeda motor yang rodanya dipasang simetris terhadap sumbu tengah kendaraan yang membujur kedepan harus dilengkapi dengan peralatan pengereman pada roda depan dan roda belakang. Peralatan rem pada sepeda motor harus dapat dikendalikan kecepatannya oleh pengemudi dari tempat duduknya tanpa melepaskan tangannya dari stang kemudi (Pasal 19)
g. pada Pasal 41 disebutkan pula bahwa setiap kendaraan bermotor jenis sepeda motor harus dilengkapi dengan lampu-lampu yang meliputi :
1)  lampu utama dekat
2)  lampu utama jauh
3) lampu penunjuk arah secara berpasangan dibagian depan dan belakang sepeda motor
4) lampu posisi depan
5) lampu posisi belakang

6) lampu rem
7) lampu penerangan tanda nomer kendaraan
8) satu lampu pemantul cahaya
h. komponen pendukung pada sepeda motor terdiri dari pengukur kecepatan untuk kendaraan bermotor yang memiliki kemampuan kecepatan 40 km per jam atau lebih pada jalan datar, kaca spion dan klakson (Pasal 70) Jadi kendaraan bermotor roda dua adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang terpasang pada satu sumbu, serta tidak dilengkapi dengan rumah-rumah baik dengan atau tanpa kereta samping. Jenis kendaraan bermotor roda dua disini adalah sepeda motor.

2. Second hand
Berdasarkan terminologinya, second hand berasal Bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu second dan hand. Dalam Bahasa Indonesia, second berarti kedua atau nomer dua dan hand berarti tangan atau dapat juga berarti kekuasaan. Jadi second hand dapat berarti tangan kedua atau kekuasaan kedua yang jika ditinjau dari segi Bahasa Indonesia maka tangan kedua adalah bukan tangan pertama atau bahwa barang tersebut bukanlah barang yang baru, melainkan barang yang sudah atau pernah dipakai sebelumnya atau dapat juga diartikan sebagai ‘kekuasaan kedua’.
Sepeda motor tangan kedua juga dapat berarti sepeda motor bekas. Sedangkan kata ‘bekas’, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sama artinya dengan sudah pernah dipakai. Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud Sepeda motor second hand adalah kendaraan bermotor roda dua yang bukan baru, dalam arti sudah pernah dipakai oleh pemilik sebelumnya dan telah didaftarkan pada instansi yang berwenang atau telah memiliki nomer polisi.

D. Perjanjian Sewa Beli
Sewa beli merupakan lembaga hukum yang timbul sebagai akibat kebutuhan praktek. Perjanjian sewa beli timbul berawal dari sering terjadinya seseorang yang ingin membeli sesuatu barang tapi tidak mempunyai cukup uang untuk membayar keseluruhan harga barang yang ingin dibelinya. Dalam hal tersebut, kemudian dimungkinkan bagi pihak pembeli untuk membayar harga pembelian tersebut secara berangsur-angsur selama jangka waktu tertentu.
Pada saat dahulu tidak ada kesepakatan/perjanjian secara tertulis diantara para pihak pembeli maupun penjual. Para pihak baik pihak penjual maupun pihak pembeli hanya mengandalkan sistem kepercayaan diantara masing-masing pihak. Masalah akan timbul ketika terjadi pengingkaran tanggung jawab yang dilakukan oleh salah satu ataupun kedua belah pihak.
Tidak adanya perjanjian/kesepakatan secara tertulis menyebabkan tidak adanya sanksi hukum yang bisa diterapkan. Dalam prakteknya, semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat dibidang ekonomi tersebut menciptakan suatu bentuk perjanjian yang dinamakan sewa beli dimana perjanjian pokoknya dinamakan sewa menyewa barang, dengan akibat bahwa si penerima barang belum menjadi pemilik, melainkan sebagai pemakai saja selama keseluruhan uang pembayaran barang belum dilunasi. Dalam hal ini hak milik atas barang masih tetap berada di tangan penjual. Jika keseluruhan uang pembayaran harga barang tersebut sudah dilunasi, maka status penyewa dengan sendirinya beralih menjadi pembeli, yaitu dimana barang sudah menjadi hak miliknya.
Sewa beli harus dibedakan dengan jual beli, demikian menurut Subekti, karena dalam perjanjian jual beli barang beserta hak miliknya diserahkan kepada pembeli, namun harganya boleh dicicil. Sehingga dengan demikian, maka pembeli dengan seketika sudah menjadi pemilik mutlak dari barangnya dan tinggal ia mempunyai hutang kepada si penjual berupa harga/sebagian dari harga yang belum dibayarnya.
Walaupun belum diatur dalam perundang-undangan, tetapi bentuk sewa beli ini sangat populer di masyarakat kita. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya peminat bentuk perjanjian sewa beli dan beragamnya jenis barang yang dijadikan obyek sewa beli. Besarnya peminat bentuk sewa beli ini disebabkan karena besarnya keuntungan yang bisa didapat oleh pembeli lain pembeli dapat memperoleh barang yang diinginkan dengan cara mudah dan ringan karena pembayarannya dapat diangsur serta disisi lain penjual dapat memperoleh keuntungan dari penjualan barangnya dengan resiko yang lebih kecil karena ada jaminan yang dapat ditahan yaitu surat hak milik atas barang. Berkaitan dengan masalah sewa beli, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting). Disini terlihat adanya kepedulian pemerintah akan pentingnya lembaga sewa beli di masyarakat kita sekaligus memberikan landasan perlindungan hukum dan status serta kedudukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa beli.
1. Pengertian Perjanjian Sewa Beli
Perjanjian sewa beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang lahir karena ciptaan praktek di masyarakat, sehingga KUH Perdata kita tidak mengaturnya. Sebagai bentuk perjanjian baru yang tidak diatur dalam KUH Perdata, bukan berarti bentuk perjanjian sewa beli ini terpisah dari ketentuanketentuan yang sudah ada. Perjanjian sewa beli merupakan penggabungan dari dua bentuk perjanjian yaitu perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli, sehingga perjanjian sewa beli memiliki substansi yang didalamnya menyangkut pengertian sewa menyewa dan jual beli. Hal tersebut dapat kita temukan dalam rumusan dan ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian sewa beli.
Dalam Pasal 1 sub a Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting) disebutkan bahwa :
Sewa Beli (hire purchase) adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar
lunas oleh pembeli kepada penjual.
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro, sewa beli adalah perjanjian yang berpokok pada sewa menyewa barang dengan akibat bahwa si penerima barang tidak akan menjadi pemilik melainkan pemakai belaka. Baru kalau uang sewa telah dibayar berjumlah sama dengan harga pembelian, sipenyewa menjadi pembeli, yaitu barangnya menjadi miliknya. Rumusan sewa beli menurut J. Satrio adalah :
Perjanjian sewa beli bukan sebagai perjanjian sewa menyewa tapi sebagai suatu variasi tersendiri dari perjanjian jual beli dengan angsuran, antara lain bahwa hak milik untuk sementara masih ada pada penjual sewa sampai seluruh angsuran sewa beli dilunasi maka hak milik otomatis, tanpa perbuatan penyerahan lagi beralih pada pembeli sewa. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan sewa beli sebenarnya adalah suatu macam jual beli, setidak-tidaknya ia lebih mendekati jual beli daripada sewa menyewa meskipun ia tidak merupakan campuran dari kedua-duanya dan diberikan judul sewa menyewa. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, diambil suatu kesimpulan bahwa sewa beli merupakan perpaduan dari dua bentuk perjanjian yaitu perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli. Sebagai suatu perjanjian yang merupakan penggabungan dari dua macam perjanjian maka dalam perjanjian sewa beli mengandung unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian jual beli maupun perjanjian sewa menyewa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian sewa beli antara lain:
a.  Saat penyerahan barang hak milik atas barang tersebut belum berpindah
b.  Terdapat kewajiban membayar harga barang dalam jangka waktu tertentu
c. Setelah harga barang terbayar lunas, maka barulah hak milik atas barang tersebut berpindah kepada si pemilik.
Dalam perjanjian sewa beli, kedudukan penjual sewa terhadap obyek sewa beli relatif terjamin karena jika pembeli sewa menghilangkan atau menjual obyek sewa beli maka pembeli sewa dapat dituduh melakukan tindak pidana penggelapan atas benda milik penjual sewa.

2. Persyaratan Umum Sewa Beli
Perjanjian sewa beli sebagai salah satu bentuk dari perjanjian tentunya memiliki persyaratan yang harus dipenuhi para pihak sebelum melaksanakan  perjanjian agar dianggap sah dimuka hukum, dalam artian tidak dapat diganggu gugat dikemudian hari oleh siapapun atau karena apapun. Persyaratan ini terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mencantumkan agar suatu perjanjian harus memenuhi:
a. sepakat mereka yang telah mengikatkan dirinya
b. cakap untuk membuat suatu perjanjian
c. mengenai suatu hal tertentu
d. suatu sebab yang halal
Kedua syarat pertama adalah merupakan syarat subyektif yaitu mengenai subyek orang / orang-orang yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat kedua adalah merupakan syarat obyektif yaitu mengenai perjanjian itu sendiri / obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan tersebut.

3. Subyek Sewa Beli
Subyek hukum dalam perjanjian adalah para pihak dalam perjanjian tersebut. Subyek hukum ini berarti orang yang mempunyai hak, manusia pribadi/badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana umumnya perjanjian, subyek perjanjian dapat berupa :
a. Subyek badan hukum
Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian, dsb. Dalam Pasal 3 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting) disebutkan bahwa kegiatan usaha sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran, dan sewa (renting), hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perdagangan nasional.
b. Subyek perorangan
Seseorang yang dapat menjadi subyek perorangan dalam suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat :
1)  dewasa
2)  sehat pikiran
3)  tidak dilarang oleh hukum atau tidak dibatasi dalam hal melakukan perbuatan hukum yang sah. Orang atau persoon sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam Perjanjian Sewa Beli dapat dibagi :
a. pemilik atau penjual sewa sebagai kreditur
b. penyewa atau pembeli sewa sebagai debitur

4. Obyek Sewa Beli
Obyek sewa beli dapat berupa sesuatu hal yang mempunyai sifat kebendaan dan bersifat konsumtif.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting) disebutkan bahwa :
Barang-barang yang boleh disewa belikan (hire purchase), dan dijual belikan dengan angsuran adalah semi barring niaga tahan lama yang baru dan tidak mengalami perubahan teknis, baik berasal dari hasil produksi sendiri ataupun hasil produksi/perakitan (assembling) lainnya di dalam negeri, kecuali apabila produksi dalam negeri belum memungkinkan untuk itu.
Berdasarkan Pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa barang yang dapat menjadi obyek daripada Perjanjian Sewa Beli adalah barang semi barring niaga tahan lama yang masih baru dan tidak mengalami perubahan teknis.

5. Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Beli
Dalam melaksanakan suatu perjanjian, dapat saja terjadi hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan dari perjanjian itu sendiri yang berasal dari salah satu pihak dalam perjanjian yang lalai dalam melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Hal tersebut tentunya sangat merugikan pihak lain karena kepentingannya menjadi terganggu.
Adapun barang sesuatu atau kewajiban yang dapat dituntut oleh para pihak dalam suatu perjanjian dinamakan ‘prestasi’ yang menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa :
a. menyerahkan sesuatu
b. melakukan suatu
c. tidak melakukan suatu
Debitur yang lalai ini bisa disebut wanprestasi sehingga menyebabkan ia dapat digugat didepan hakim. Debitur dapat dikatakan lalai apabila :
a. tidak memenuhi tuntutan prestasi sama sekali
b. terlambat dalam memenuhi prestasi
c. berprestasi tidak sebagaimana mestinya
Akibat wanprestasi dalam perjanjian sewa beli diantaranya :
a. mengganti kerugian
b. adanya peralihan resiko
c. jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat minta pembatalan (pemutusan) perjanjian.

E.  Ketentuan Pencantuman Klausula Baku pada Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pada dasarnya, perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara kedua belah pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Namun, ada saatnya kedudukan kedua belah pihak dalam perjanjian tidak seimbang sehingga menjadikan kerugian bagi salah satu pihak.
Dalam praktek dunia usaha, seringkali pelaku usaha menunjukkan kekuasaannya sebagai pihak yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada konsumen. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat kita lihat dari pembuatan dokumen perjanjian dan/atau klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha tanpa melibatkan konsumen. Dikatakan bersifat ‘baku’ karena baik perjanjian maupun klausula tersebut tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini cenderung merugikan pihak lain.Untuk melindungi pihak yang memiliki kedudukan yang lebih lemah dibandingkan pelaku usaha, maka dalam Pasal 18 UUPK dicantumkan ketentuan mengenai larangan pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian.
Ketentuan Pasal 18 UUPK yaitu :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. mengatur pihak pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan bagi pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku sepanjang isi atau klausula dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat 1 UUPK .
Dalam Pasal 45 ayat 3 UUPK disebutkan bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan, tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hal tersebut berarti bahwa selain hubungan keperdataan antara pelaku usaha dan konsumen, UUPK juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar UUPK.
Pada dasarnya, aspek hukum pidana dan hukum perdata memiliki peran dan kesempatan yang sama untuk melindungi kepentingan konsumen. Namun, didalam praktek hukum keperdataan atau hukum kontrak sering terjadi para pihak merasa kurang puas menggunakan solusi melalui saran hukum keperdataan dan arbitrase sehingga berupaya untuk meminta bantuan atau menggunakan sarana hukum pidana.
Mengenai pelanggaran yang dilakukan terhadap UUPK tersebut, maka ditetapkan sanksi-sanksi pada Bagian Kedua UUPK yang terdiri dari:
1. sanksi administratif
2. sanksi pidana pokok
3. sanksi pidana tambahan
Sanksi administratif diatur pada Pasal 60 yang merupakan hak khusus yang diberikan oleh UUPK kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atas tugas dan/atau kewenangan yang diberikan oleh UUPK kepada BPSK untuk menyelesaikan persengketaan konsumen diluar pengadilan.
Menurut Pasal 60 UUPK, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap tidak dilaksanakannya ganti rugi oleh pelaku usaha, terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan serta pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual.
Sanksi pidana pokok adalah merupakan sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. UUPK memungkinkan dilakukan penuntutan pidana terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya (Pasal 61 UUPK).
Sesuai ketentuan Pasal 62 UUPK ayat (1), penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, Pasal 17 ayat (2), Pasal 18. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat dituntut pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).
Sedangkan pada Pasal 63 UUPK ditentukan bahwa terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 dapat dijatuhkan sanksi pidana tambahan berupa :
a. perampasan barang tertentu
b. pengumuman keputusan hakim
c. pembayaran ganti rugi
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan ijin usaha

BAB III
PEMBAHASAN PROSES SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECOND HAND
SERTA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
BERDASARKAN PASAL 18 UUPK

A. Gambaran Umum Perusahaan

1. Sejarah Singkat Perusahaan
FIF Motor didirikan pada tahun 1999 atas inisiatif beberapa orang pelaku usaha yang ingin menginvestasikan dananya. Pertama kali berdiri, FIF Motor berlokasi di Sudirman dengan dipimpin oleh seorang direktur yang juga menginvestasikan dananya pada FIF Motor. Kemudian seiring dengan perkembangan perusahaan, lokasi yang dianggap lebih strategis yaitu di Jl. Sudirman  Kota Tanjung Balai.
FIF Motor adalah suatu perusahaan dagang yang bergerak dalam bidang jual beli kendaraan bermotor, khususnya roda dua baik baru maupun bekas dari segala macam merk. Hal ini sebenarnya kurang sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting) yang menyebutkan bahwa :
Barang-barang yang boleh disewa belikan (hire purchase), dan dijual belikan dengan angsuran adalah semi barring niaga tahan lama yang baru dan tidak mengalami perubahan teknis, baik berasal dari hasil produksi sendiri ataupun hasil produksi/perakitan (assembling) lainnya di dalam negeri, kecuali apabila produksi dalam negeri belum memungkinkan untuk itu.Berdasarkan peraturan tersebut diketahui bahwa barang yang dapat disewa belikan adalah barang yang masih baru dalam arti belum pernah terpakai, sedangkan dealer menjual kendaraan sepeda motor bekas dengan sistem sewa beli.
Sebagai penjual sewa, menurut ketentuan SK. Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting) Pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa kegiatan usaha sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran, dan sewa (renting), hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perdagangan nasional, sedangkan dalam ayat 2 disebutkan pula bahwa untuk melakukan kegiatan usaha sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran, dan sewa (renting), perusahaan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 wajib memiliki izin usaha, dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya.Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh keterangan bahwa dalam menjalankan aktivitas jual beli sepeda motor dengan sistem sewa beli, sebagai perusahaan dagang nasional Dealer FIF Motor telah memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan sebagai landasan kegiatannya.

2. Struktur Organisasi Perusahaan
Untuk menjamin kelancaran aktivitas FIF Motor dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, maka diperlukan suatu koordinasi yang baik dan untuk memperjelas tugas dan wewenang masing-masing bagian maka dibentuk struktur organisasi perusahaan.
Dari masing-masing bagian dari struktur tersebut memiliki tugas antara lain :
a. Direktur
1) Merupakan pimpinan tertinggi dan bertanggung jawab terhadap aktivitas perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan
2) Bertanggung jawab terhadap kelancaran jalannya usaha
3) Mengkoordinir dan mengontrol bagian-bagian dibawahnya
4) Mewakili perusahaan dalam hal yang berhubungan dengan pihak ekstern dan bertindak atas nama perusahaan
5) Menentukan kebijakan perusahaan, berkaitan dengan pembelian dan penjualan
6) Melakukan otoritas pemberian kredit
b. Bagian Akuntansi
1) Bertanggung jawab langsung kepada pimpinan atas laporan keuangan perusahaan
2)  Mencatat semua transaksi keuangan yang terjadi dalam perusahaan
c. Kasir
1) Bertanggung jawab atas keluar masuknya uang perusahaan
2) Membuat laporan tentang penerimaan dan pengeluaran kas perusahaan
d. Bagian Administrasi dan Keuangan
1) Menyelenggarakan tertib administrasi dan ketatausahaan perusahaan
2) Melakukan penagihan pada pelanggan jika sampai saat jatuh tempo pelanggan belum membayar
e. Bagian Penjualan
1) Bertanggung jawab atas kegiatan jual-beli kendaraan
f. Bagian Umum
1) Bertanggung jawab terhadap kondisi kebersihan dan kesiapan kendaraan yang akan dijual setiap hari
g. Dewan Komisaris
1) Mengontrol dan menilai pekerjaan direktur
2) Menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Wira Motor melayani sistem pembayaran dengan cara tunai ataupun kredit. Dalam melayani sistem penjualan secara kredit, selain membiayai dengan dana perusahaan sendiri, Wira Motor juga bekerjasama dengan perusahaan pembiayaan untuk memberikan kredit.
1) terlambat membayar angsuran
Dalam hubungan hukum perdata, wanprestasi karena telah telah terlambat memenuhi kewajibannya dapat dituntut denda sebagai ganti rugi kepada konsumen.
2) membayar angsuran tapi kurang
Pemenuhan prestasi yang tidak tepat akan sangat merugikan pelaku usaha secara finansial.
3) tidak membayar angsuran sama sekali
Tidak dipenuhinya prestasi oleh konsumen akan dapat merugikan pihak pelaku usaha, dan dapat dijadikan indikasi adanya itikad tidak baik dari konsumen, yang mlanggar hak pelaku usaha.
4) sepeda motor dialihkan kepada pihak ketiga
Pengalihan sepeda motor obyek sewa beli kepada pihak ketiga yang merupakan hak milik pelaku usaha oleh penyewa dapat dituntut secara pidana oleh pelaku usaha yaitu tindak pidana penggelapan.
5) sepeda motor dibawa kabur keluar kota/pulau
Untuk menghindari pelacakan terhadap penggelapan yang dilakukan oleh konsumen, biasanya obyek sewa beli dibawa kabur keluar pulau, dalam hal ini pelaku usaha dapat meminta bantuan aparat berwenang untuk melakukan penyelidikan.
Untuk melindungi kepentingan dan hak-hak pelaku usaha terutama dari konsumen yang memounyai itikad tidak baik, maka dalam Pasal 6 UUPK disebutkan hak-hak pelaku usaha. Dalam Pasal 6 ayat 2 disebutkan pula
bahwa pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari konsumen yang tidak memiliki itikad tidak baik. Selama berlakunya perjanjian sewa beli, tidak banyak kasus terjadinya pengingkaran perjanjian sewa beli dan pemenuhan kebijaksanaan perusahaan yang dilakukan oleh konsumen. Hal ini disebabkan sadarnya konsumen akan kerugian yang lebih besar yang akan diterima oleh konsumen jika tidak memenuhi perjanjian maupun kebijaksanaan pelaku usaha dealer. Konsumen cenderung mengikuti dan melakukan semua ketentuan yang diberikan oleh pelaku usaha.
Meskpun sudah dilindungi dalam UUPK, namun melihat resiko-resiko yang tidak kecil tersebut membuat perusahaan menetapkan beberapa kebijaksanaan antara lain:30
1) Persyaratan kredit
Pemberian kredit tidak diberikan kepada setiap orang. Pelaku usaha akan mempertimbangkan terlebih dahulu kemampuan seseorang untuk dapat diberikan kredit. Persyaratan yang ditetapkan meliputi kelengkapan dokumen KTP suami dan / atau istri, Kartu Keluarga, penyerahan uang muka dan kesediaan untuk menandatangani surat perjanjian sewa beli yang telah dipersiapkan oleh pelaku usaha.
2) Jaminan kredit
30 Hasil wawancara dengan Yuswati, Karyawan Bagian Administrasi dan Keuangan, 20
Desember, 2005, diolah
Untuk mengurangi resiko yang mungkin harus ditanggung perusahaan sebagai penjual sewa maka perusahaan menetapkan adanya jaminan yang harus diberikan oleh pembeli sewa. Dalam hal ini, penjual sewa tidak secara langsung meminta jaminan, namun dilakukan secara langsung dengan melalui penahanan terhadap surat BPKB (Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor) sampai kewajiban kredit atas pembayaran sepeda motor telah lunas, baru BPKB kendaraan tersebut diserahkan kepada pembeli sewa.
3) Jangka waktu kredit
Konsumen atau debitur yang membeli sepeda motor second hand dengan sistem sewa beli dapat memilih jangka waktu kredit yang diinginkannya, dengan ketentuan maksimum jangka waktu kredit adalah 36 bulan atau 3 tahun, dengan angsuran yang wajib dibayarkan konsumen setiap bulannya.
4) Kebijaksanaan penagihan
Dalam menangani debitur/pembeli sewa yang belum membayarkan kewajibannya sampai melewati jatuh tempo, maka perusahaan menetapkan kebijaksanaan penagihan sebagai berikut:31
a) Melalui telepon
31 Hasil wawancara dengan Yuswati, Karyawan Bagian Administrasi dan Keuangan, 20
Desember, 2005, diolah
Bilamana keterlambatan pembayaran berlangsung selama satu minggu, maka pihak perusahaan akan mengingatkan pembeli sewa secara pribadi dengan menelepon untuk segera melakukan pembayaran
b) Kunjungan personal
Kunjungan personal ke tempat tinggal pembeli sewa dilakukan bila pembeli sewa tidak memenuhi kewajibannya selama satu bulan. Hal ini dilakukan untuk menyelidiki apa yang menjadi alasan keterlambatan pembayaran sekaligus untuk menentukan langkah yang akan diambil oleh pelaku usaha.
c) Tindakan yuridis
Bilamana telah 3 bulan sejak saat jatuh tempo, pihak pembeli sewa belum dapat melunasi tunggakannya, maka perusahaan akan mengambil kembali kendaraan dengan cara damai, namun jika terpaksa pelaku usaha akan meminta bantuan kepada pihak yang berwajib.

B. Prosedur Sewa Beli Sepeda Motor Second hand pada Dealer ‘FIF Motor”
Prosedur penjualan secara kredit yang dilakukan oleh PT. Multiwira Tunggal Sarana sebagai penjual sewa adalah sebagai berikut:
a. Negosiasi harga
Dalam tahap ini, setelah calon konsumen menetapkan kendaraan yang dipilihnya, maka calon konsumen akan mengajukan sejumlah pertanyaan dan penawaran berkaitan dengan kondisi kendaraan tersebut kepada pihak dealer. Dalam negosiasi ini, perusahaan menetapkan kebijakan harga jual yaitu bahwa patokan keuntungan yang diperoleh adalah Rp 50.000 sampai dengan Rp 300.000 dari harga pembelian kendaraan.
b. Penetapan harga jadi dan syarat pembayaran
Harga yang telah disepakati oleh pihak konsumen dan pelaku usaha adalah ‘harga jadi’ yang harus dibayar oleh konsumen. Dalam penetapan harga jadi tersebut, termasuk didalamnya adalah penetapan besarnya uang muka yaitu kira-kira sebesar 40 % dari harga jual kendaraan dan besarnya angsuran yang harus dibayar oleh konsumen setiap bulannya beserta jangka waktu kredit. mengenai unsur-unsur sewa beli yang berlaku di masyarakat, yaitu bahwa terdapat kewajiban untuk membayar sisa harga barang dalam jangka waktu tertentu.
c. Penyerahan dokumen dan persyaratan kredit
Dalam tahap ini, calon konsumen diminta untuk menyerahkan surat-surat sebagai syarat pembeli sewa yang ditetapkan oleh dealer diantaranya :
1) Fotocopi KTP suami istri
2) Fotocopi Kartu Keluarga
Dokumen identitas diri tersebut selanjutnya akan diajukan sebagai persyaratan kredit kepada direktur perusahaan untuk kemudian diberikan persetujuan kredit.
Sedangkan persyaratan kredit adalah berupa penyerahan uang muka yang telah disepakati, bersamaan dengan penandatanganan perjanjian sewa beli oleh calon konsumen. Karyawan bagian administrasi akan menyerahkan dokumen perjanjian sewa beli kepada konsumen sepeda motor second hand untuk kemudian ditandatangani Sebelum menandatangani perjanjian sewa beli tersebut, hanya sebagian kecil calon konsumen yang membaca isi dari perjanjian.
d. Persetujuan Kredit
Apabila konsumen telah menyerahkan dokumen yang diperlukan dan jika memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka direktur akan memberikan persetujuan kreditnya.
e. Penyerahan kendaraan
Apabila pengajuan kredit telah disetujui, maka kendaraan diserahkan kepada pembeli sewa beserta STNK (Surat Tanda Nomer Kendaraan). Sedangkan BPKB (Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor) sebagai bukti kepemilikan sepeda motor masih tetap dipegang oleh pihak perusahaan. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan ciri sistem sewa beli bahwa selama harga pembayaran belum dilunasi, maka hak milik atas obyek sewa beli masih berada ditangan penjual sewa, sehingga pembeli sewa tidak dapat mengalihkan kendaraan dengan cara apapun.
f. Angsuran kredit
Pada tahap ini pembeli sewa wajib melakukan pembayaran angsuran setiap bulan pada waktu yang telah ditentukan. Dalam jangka waktu angsuran yang telah ditetapkan bersama tersebut, calon pembeli sewa harus membayarkan angsuran kepada penjual sewa. Dalam masa tersebut, selama angsuran belum dilunasi, maka konsumen masih berstatus sebagai penyewa.
g. Pelunasan kredit
Kredit akan dianggap lunas bila pembeli sewa telah melunasi seluruh kewajibannya sebagai pembeli sewa.
Sesuai dengan teori sewa beli, maka dengan lunasnya keseluruhan harga obyek sewa beli, secara otomatis hak milik atas obyek sewa beli beralih kepada pembeli sewa.
h. Penyerahan BPKB
Setelah melengkapi seluruh kewajiban kreditnya, maka surat BPKB kendaraan bermotor sebagai bukti hak milik atas obyek sewa beli akan diserahkan oleh penjual sewa kepada pembeli sewa. Dengan demikian terputuslah hubungan perikatan antara pembeli dan penjual sewa.

C. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Sewa Beli Sepeda Motor Second hand berdasarkan Pasal 18 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, diketahui bahwa kesepakatan mengenai pembelian sepeda motor second hand secara kredit dengan sistem sewa beli pada Dealer Wira Motor dituangkan secara tertulis dalam suatu bentuk Perjanjian Sewa Beli. Pihak pelaku usaha dealer telah menyediakan dokumen perjanjian sewa beli tersebut dalam bentuk dokumen yang telah diperbanyak untuk keefektifan dan kemudahan pelayanan jual-beli.
Dengan menandatangani dokumen perjanjian sewa beli sepeda motor tersebut, maka secara tidak langsung para pihak telah mengikatkan dirinya dalam satu perjanjian sewa beli sepeda motor second hand dengan sistem sewa beli. Dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia, maka perlu diperhatikan berbagai macam peraturan-peraturan
perundangan yang mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam suatu perjanjian maka dalam Pasal 18 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. mengatur pihak pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilaksanakan, maka dibuat kesimpulan sebagai berikut :
1.  Prosedur sewa beli pada Dealer Wira Motor telah ditetapkan dalam perjanjian Sewa Beli yang dilaksanakan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan. Tahap-tahap prosedur sewa beli pada Dealer Wira Motor diantaranya negoisasi harga, penetapan harga jadi dan syarat pembayaran, penyerahan dokumen dan persyaratan kredit, persetujuan kredit oleh direktur perusahaan, penyerahan kendaraan, angsuran kredit, pelunasan kredit serta tahap terakhir yaitu penyerahan bukti hak milik atas obyek sewa beli.
2.  Perlindungan hukum yang didapatkan konsumen dalam Perjanjian Sewa Beli pada Dealer Wira Motor dapat dilaksanakan dengan baik disebabkan tepatnya kebijaksanaan perusahaan yang diberikan bagi konsumen yang bermasalah, meskipun belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Perlindungan hukum yang belum sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen diantaranya adalah bahwa perjanjian sewa beli akan batal dengan sendirinya jika dalam waktu tujuh hari konsumen terlambat membayar angsuran, bahwa dalam hal wanprestasi tidak diperlukan keputusan hakim karena ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dilepaskan oleh para pihak, bahwa jika terjadi pembatalan perjanjian maka angsuran dan uang muka dianggap ganti rugi, adanya ketentuan bahwa pelaku usaha tidan menanggung segala cacat/kerusakan pada obyek perjanjian sewa beli, serta ketentuan bahwa penyewa harus tetap memenuhi kewajibannya jika obyek sewa beli musnah.

B. Saran
1. Diperlukan kebijakan yang dilaksanakan secara tegas dan konsisten dalam pengaturan sistem sewa beli yang semakin berkembang di masyarakat agar hak-hak konsumen dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
2.  Kebijaksanaan perusahaan yang baik dan tidak terlalu merugikan konsumen akan sangat membantu proses kesetaraan kedudukan antara pelaku usaha/penjual sewa dan konsumen/pembeli sewa dalam Perjanjian Sewa Beli.