PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KONSUMEN
DALAM PERJANJIAN SEWA BELI
SEPEDA MOTOR SECOND HAND
BERDASARKAN PASAL 18
UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
SKRIPSI
Diajukan
untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis
Oleh :
DAHNUM MANGUNSONG
11033198
UNIVERSITAS ASAHAN
FAKULTAS EKONOMI
KISARAN - 2012
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................. i
Daftar Isi....................................................................................................... ii
Abstraksi....................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian......................................................................................... 5
D. Manfaat Penulisan....................................................................................... 5
E. Metode Penulisan........................................................................................ 6
F. Sistematika Pembahasan.............................................................................. 10
BAB II : TINJAUAN UMUM
A. Perlindungan Hukum terhadap
Konsumen.................................................... 11
B. Dealer sebagai Pelaku Usaha....................................................................... 17
C. Sepeda Motor Second Hand ..................................................................... 21
D. Perjanjian Sewa Beli................................................................................... 22
E. Ketentuan Pencantuman Klausula Baku berdasarkan Pasal
18
Undang-Undang Perlindungan Konsumen..................................................... 29
BAB III : PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Perusahaan..................................................................... 34
B. Prosedur Sewa Beli Sepeda
Motor Second hand pada Dealer ‘FIF Motor’ 40
C. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian
Sewa Beli Sepeda Motor Second Hand Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ........ 43
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................. 45
B. Saran.......................................................................................................... 46
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR
Segala hormat dan puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dipersembahkan karena atas rahmat dan
kasih Nya, maka penulisan skripsi dengan
judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN SEBAGAI KORBAN
DALAM PERJANJIAN SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECOND HAND dapat terselesaikan.
Penulisan skripsi ini
bertujuan untuk memenuhi syarat dalam tugas mata kuliah Hukum Bisnis pada
Fakultas Ekonomi Universitas Asahan. Banyak hambatan yang dialami dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak tidak pernah surut sehingga memberikan semangat pada penulis. Oleh karena
itu, ucapan terimakasih disampaikan sedalam-dalamnya
Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan yang bersumber dari
kekurangan dan keterbatasan penulis, oleh karenanya harap diberikan maklum.
Akhir kata penulis
berharap bahwa skripsi ini akan berguna dan menjadi masukan bagi pihak-pihak
yang membutuhkan.
Kisaran, Mei
2012
Penulis
DAHNUM MANGUNSONG
NIM :
11033198
ABSTRAKSI
Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Sewa Beli Sepeda Motor Second Hand Berdasarkan
Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Seiring dengan
meningkatnya permintaan kendaraan khususnya jenis sepeda motor di Kota Malang menjadikan pelaku
usaha dealer bersaing meningkatkan penjualan baik sepeda motor baru maupun
bekas (second hand). Barbagai fasilitas kemudahan diberikan untuk
mempermudah konsumen dalam mendapatkan sepeda motor yang diinginkannya. Salah
satu kemudahan yang diberikan yaitu fasilitas pembelian secara kredit dengan
sistem sewa beli. Dengan sistem sewa beli, konsumen hanya perlu membayar uang
muka dan menandatangani perjanjian sewa beli untuk mendapatkan sepeda motor
yang diinginkannya dengan segera, tanpa memperhatikan bahwa isi perjanjian sewa
beli yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha akan dapat merugikan
konsumen.Untuk melindungi konsumen dari perjanjian baku yang dibaut oleh pelaku
usaha, maka ditetapkan dalam Pasal 18 UUPK tentang larangan pencantuman
klausula baku yang merugikan konsumen. Penelitian yang dilaksanakan adalah
untuk mengetahui bagaimana proses kegiatan sewa beli sepeda motor second
hand melalui perjanjian sewa beli yang dilaksanakan oleh dealer FIF Motor
serta bagaimana perlindungan hukum yang didapatkan konsumen sepeda motor second
hand melalui perjanjian sewa beli berdasarkan Pasal 18 UUPK. Dalam
melakukan penelitian digunakan metode pendekatan secara metode pendekatan
yuridis sosiologis yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata
di masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta, kemudian
dilanjutkan dengan menemukan masalah, kemudian menuju kepada identifikasi
masalah dan pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah. Berdasarkan
penelitian yang telah dilaksanakan, diketahui bahwa prosedur sewa beli pada
Dealer FIF Motor telah ditetapkan dalam perjanjian Sewa Beli yang dilaksanakan
berdasarkan kebijaksanaan perusahaan. Mengenai perlindungan hukum yang
didapatkan konsumen dalam Perjanjian Sewa Beli pada Dealer FIF Motor dapat
dilaksanakan dengan baik disebabkan tepatnya kebijaksanaan perusahaan yang diberikan
bagi konsumen yang bermasalah, meskipun belum sepenuhnya sesuai dengan
ketentuan Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Diperlukan kebijakan yang dilaksanakan secara tegas
dan konsisten dalam pengaturan sistem sewa beli yang semakin berkembang di
masyarakat agar hak-hak konsumen dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Kebijaksanaan perusahaan yang baik dan tidak terlalu merugikan konsumen akan
sangat membantu proses kesetaraan kedudukan antara pelaku usaha/penjual sewa
dan konsumen/pembeli sewa dalam Perjanjian Sewa Beli.
DAFTAR PUSTAKA
Erman Rajagukguk,dkk. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen.
Bandung. Mandar
Maju.
Gosita, Arif. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta. Bhuwana Ilmu
Populer.
Nasution, AZ. 1995. Konsumen dan Hukum. Jakarta. Pustaka Sinar
Harapan.
Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan Hak -Hak Jaminan
Kebendaan. Bandung.
Citra
Aditya Bakti.Bandung. Citra Aditya Bakti.
---------------. 2002. Pelaku Usaha, Konsumen Dan
Tindak Pidana Korporasi. Jakarta.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KEPMEN Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang
Perizinan Kegiatan
Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan
Angsuran dan Sewa
(Renting)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti pada umumnya kota besar, lalu lintas
Kota Tanjung Balai tergolong padat. Kepadatan mencapai puncaknya pada jam-jam
sibuk, terutama pada saat orang berangkat ke tempat kerja, pulang kerja, atau
akhir minggu. Sebagai salah satu tujuan pendatang sehingga laju pertumbuhan
penduduk berjalan sangat cepat. Dengan cepatnya laju pertumbuhan penduduk dan
tingginya tingkat mobilisasi di Tanjung Balai tentu saja menyebabkan permintaan
terhadap alat transportasi pun meningkat, baik kendaraan pribadi maupun
angkutan umum. Dalam konteks angkutan umum, bertambahnya jumlah penduduk
berarti ada tuntutan akan perlunya penambahan armada angkutan umum sehingga
secara kumulatif, jumlah kendaraan di Tanjung Balai bertambah banyak. Karena
dengan menggunakan kendaraan roda empat seringkali terjebak kemacetan sehingga
berakibat terlambat tiba di tempat kerja, sejumlah warga pun lebih memilih
menggunakan kendaraan roda dua, khususnya sepeda motor. Jenis kendaraan roda
dua bukan saja lebih efisien dari segi biaya namun kelincahan, kegesitan dan
fleksibilitasnya dalam menyesuaikan diri dalam berbagai medan jalan juga membuat sepeda motor banyak
diminati berbagai kalangan masyarakat khususnya menengah kebawah. Harganya yang
relatif terjangkau oleh semua lapisan masyarakat memungkinkan jenis kendaraan
roda dua untuk menjadi sarana mobilitas yang bersifat pribadi. Dengan bentuknya
yang ramping, sepeda motor dapat dengan lincah menerobos kemacetan, sehingga
penggunanya lebih cepat sampai ke tujuan. Dari segi biaya, menggunakan
transportasi umum membutuhkan biaya yang lumayan besar jika dibandingkan dengan
kendaraan pribadi. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak dua kali berturut-turut
sepanjang tahun 2011 juga semakin menambah alasan meningkatnya permintaan
kendaraan sepeda motor di Sumatera Utara. Masyarakat di Sumatera Utara lebih
memilih sepeda motor sebagai sarana transportasi, karena selain lebih hemat
biaya jika dibandingkan dengan naik kendaraan umum angkutan kota, semakin
banyaknya dealer sepeda motor yang menawarkan berbagai macam fasilitas dan
kemudahan semakin menambah minat warga di Tanjung Balai untuk memiliki sepeda
motor baik secara tunai maupun kredit.
Dengan menggunakan
kejelian membaca kebutuhan masyarakat akan alat transportasi yang efisien, maka
dealer-dealer berusaha menawarkan berbagai kemudahan memiliki sepeda motor.
Mulai dengan penawaran berbagai macam hadiah, uang muka yang sangat terjangkau
sampai dengan garansi pemeliharaan kendaraan. Bagi dealer-dealer atau penyalur
kendaraan bermotor, situasi ini sekaligus sebagai peluang untuk meningkatkan
penjualan. Untuk pembelian sepeda motor baru, fasilitas kredit bunga ringan
serta uang muka di bawah satu juta telah menjadi faktor pemikat yang mendorong konsumen
mendatangi dealer sepeda motor produksi terbaru.
Persyaratan kredit yang
mudah serta uang muka kurang dari Rp 1 juta, menjadi kunci pendukung
meningkatnya tingkat penjualan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan sepanjang
tahun 2012, hanya dengan uang muka Rp 250.000,- konsumen sudah dapat memiliki
sepeda motor baru secara kredit dengan jangka waktu cicilan antara 1 hingga 3
tahun, bahkan ada perusahaan pembiayaan yang memberikan fasilitas kredit tanpa
uang muka. Semakin banyaknya peminat sepeda motor, membuat dealer terus berupaya
memberikan fasilitas kredit hingga ke motor bekas dengan fasilitas kredit
murah. Kemudahan yang juga diberikan terhadap sepeda motor bekas ini diberikan
karena tidak sedikit konsumen yang lebih memilih membeli sepeda motor bekas
dibandingkan dengan sepeda motor produksi terbaru.
Ada berbagai alasan
mengapa konsumen lebih memilih sepeda motor bekas daripada sepeda motor yang
masih baru, diantaranya adalah karena harga sepeda motor bekas yang relatif
lebih murah dan juga adanya kepercayaan di masyarakat bahwa sepeda motor
produksi lama memiliki mesin yang lebih awet dan kuat jika dibandingkan dengan
mesin sepeda motor baru. Untuk dapat memberikan fasilitas-fasilitas kemudahan
tersebut dan untuk memperkecil resiko terhadap penjualan dengan sistem
pembayaran secara kredit, maka dealer yang menjual sepeda motor baru
bekerjasama dengan perusahaan pembiayaan yang biasanya masih berada dalam satu
anak perusahaan dengan produsen sepeda motor. Demikian pula dengan dealer yang menjual
sepeda motor bekas, mereka juga dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan
pembiayaan yang ada.
Disamping itu ada pula
pelaku usaha dealer yang menangani penjualan sepeda motor dengan sistem
pembayaran secara kredit yang pembiayaannya dilakukan oleh dealer itu sendiri.
Dalam pembelian secara kredit ini, dealer mempergunakan dokumen Perjanjian Sewa
Beli. Melalui perjanjian pembiayaan yang merupakan perjanjian sewa beli, dalam
sekejap konsumen dapat segera dan dengan mudah mendapatkan sepeda motor bekas
yang diinginkannya. Konsumen hanya perlu membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian sewa
beli yang sudah dibuat dan dipersiapkan oleh pihak dealer/pelaku usaha
sebelumnya. Namun, tidak banyak konsumen yang menyadari adanya konsekuensi dan
berbagai kemungkinan negatif dibalik berbagai kemudahan yang ditawarkan.1
Sepanjang berlakunya perjanjian tersebut, konsumen dapat saja dibelit berbagai
masalah. Dimata hukum, konsumen belumlah menjadi pemilik kendaraan. Selama
semua angsuran belum dilunasi, konsumen hanyalah berstatus peminjam atau
penyewa saja. Masalah akan muncul apabila konsumen tertunda membayar angsuran. Kedudukan
konsumen dalam perjanjian sewa beli dalam hal ini menjadi sangat lemah jika
dibandingkan dengan kedudukan dealer/pelaku usaha yang merupakan
pemilik/penjual.
Masalah lainnya adalah
ketika terjadi pencurian atau rusaknya kendaraan karena kecelakaan. Seringkali
dealer menolak menanggung biaya perbaikan atau pencarian atas sepeda motor yang
hilang tersebut, sehingga konsumen semakin merasa dirugikan karena perjanjian
yang ada. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena dalam Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang untuk selanjutnya akan disebut UUPK )
yaitu pada Pasal 18 tentang ketentuan pencantuman klausula baku disebutkan
hal-hal yang dilarang bagi pelaku usaha dalam suatu perjanjian yang dapat
merugikan konsumen.
Untuk mengetahui lebih
jauh tentang perlindungan hukum terhadap konsumen sepeda motor bekas (second
hand) melalui perjanjian sewa beli, maka dalam skripsi ini akan dibahas
tentang “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN SEWA BELI SEPEDA
MOTOR SECOND HAND BERDASARKAN PASAL 18 UNDANGUNDANG NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan
masalah-masalah yang akan dikaji lebih dalam antara lain:
1. Bagaimana proses kegiatan sewa beli sepeda motor second
hand melalui perjanjian sewa beli yang dilaksanakan oleh dealer FIF Motor?
2. Bagaimana perlindungan hukum yang didapatkan konsumen
sepeda motor second hand melalui perjanjian sewa beli berdasarkan Pasal
18 UUPK ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan yang akan
dilaksanakan antara lain yaitu :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji proses kegiatan sewa beli
sepeda motor second hand melalui perjanjian sewa beli yang dilaksanakan
oleh dealer FIF Motor.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji perlindungan hukum
terhadap konsumen dalam perjanjian sewa beli sepeda motor second hand berdasarkan
Pasal 18 UUPK .
D. Manfaat Penulisan
1. Teoritis
Melalui penelitian yang
akan dilakukan, diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai
hukum perlindungan konsumen secara umum dan khususnya mengenai perlindungan
hukum terhadap konsumen dalam perjanjian sewa beli sepeda motor second hand berdasarkan
Pasal 18 UUPK .
2. Praktis
a. Masyarakat
Penelitian yang akan
dilakukan diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran mengenai perlindungan
hukum yang seharusnya diterima oleh konsumen sepeda motor second hand melalui
perjanjian sewa beli berdasarkan Pasal 18 UUPK , sehingga perlindungan yang didapatkan oleh konsumen dalam perjanjian sewa
beli sepeda motor second hand dapat dilakukan seoptimal mungkin.
b. Aparat
Penelitian yang dilakukan
diharapkan akan dapat memberikan pengetahuan baru bagi para penegak hukum
mengenai permasalahan-permasalahan dalam perjanjian sewa beli dalam prakteknya
agar dapat memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi konsumen sepeda motor
second hand dan solusi terhadap permasalahan yang ada.
E. Metode Penulisan
1. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang
akan dipakai dalam penelitian berdasarkan Pasal 18 UUPK ini adalah metode
pendekatan yuridis sosiologis yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap
keadaan nyata di masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta,
kemudian dilanjutkan dengan menemukan masalah, kemudian menuju kepada
identifikasi masalah dan pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah.
2. Lokasi Penelitian
Ditengah banyaknya dealer
sepeda motor second hand di Kota Tanjung Balai yang tidak berani
menanggung resiko besar sehingga bekerjasama dengan perusahaan pembiayaan, maka
penelitian akan dilaksanakan pada Dealer ‘FIF Motor’ yang berlokasi di Jl. Sudirman, Kota Tanjung Balai dengan alasan
bahwa berdasarkan prasurvey yang telah dilakukan pada beberapa dealer sepeda
motor di Kota Tanjung Balai, Dealer ‘FIF Motor’ tersebut diatas adalah
merupakan dealer yang melayani jual beli sepeda motor bekas (second hand)
berbagai merk baik secara kredit dengan pembiayaan yang dilakukan sendiri oleh
pelaku usaha dealer dengan mempergunakan dokumen Perjanjian Sewa Beli.
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah
keseluruhan/himpunan obyek dengan ciri-ciri yang sama. Dalam penelitian yang
akan dilaksanakan adalah meliputi dealer sepeda motor sebagai pelaku usaha
serta konsumen dealer sepeda motor.
b. Sampel
Cara mengambil sampel
diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan
sampel yang ditujukan kepada responden yang dikehendaki dan dianggap mewakili
serta dapat memberikan keterangan yang mengarah sehingga memperoleh data yang
faktual. Penentuan sampel dilakukan terhadap beberapa responden diantaranya :
1)
Direktur Utama Dealer ‘FIF Motor’ sebagai pelaku usaha sepeda motor second hand
2) 1
orang karyawan bagian administrasi pada Dealer ‘FIF Motor’
3) 5
konsumen yang pernah menjadi pihak dalam perjanjian sewa beli sepeda motor second
hand
4. Jenis dan Sumber Data
a.
Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pihak-pihak yang berkaitan
dengan obyek penelitian. Dalam penelitian ini, data primer akan didapatkan dari
dealer sepeda motor second hand yang mempergunakan dokumen Perjanjian
Sewa Beli.
b.
Data Sekunder akan diperoleh dari buku, dokumen, surat kabar, dan literatur
yang ada serta peraturan perundang-undangan yang relevan, dalam hal ini
meliputi Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK),
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) serta Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980
Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli
dengan Angsuran dan Sewa (Renting).
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data
penelitian akan dilaksanakan dengan cara:
a. Data primer akan diperoleh dengan melakukan
wawancara (interview) yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara
tanya jawab secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman serta dikombinasikan
dengan sistem terbuka sehingga pertanyaan-pertanyaan yang belum tercantum pada
daftar pertanyaan dapat langsung ditanyakan oleh penulis sehingga mendapatkan
keterangan yang lebih jelas dan terperinci. Wawancara akan dilakukan dengan
pimpinan dealer FIF Motor, karyawan bagian administrasi serta konsumen sepeda
motor second hand yang pernah mengalami permasalahan dengan dealer
berkaitan dengan Perjanjian Sewa Beli sepeda motor yang dibelinya.
b. Data sekunder akan diperoleh dengan melakukan
studi dokumentasi yaitu suatu metode dimana penulis akan mengumpulkan data
dengan cara membaca, mempelajari dokumen dan arsip maupun catatan penting lainnya
yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti.
6.
Teknik Analisis Data
Dalam menganalisa data,
akan digunakan teknik deskriptif analisis yaitu dengan memaparkan atau
menggambarkan hasil studi lapangan dan hasil studi literatur, kemudian
menganalisa data yang diperoleh dan selanjutnya digunakan untuk membahas
permasalahan yang ada sehingga mampu memberikan gambaran empirik dan faktual,
baik yang bersifat yuridis maupun yang bersifat sosiologis tentang tanggung
jawab pelaku usaha dealer sepeda motor second hand terhadap konsumen
dalam perjanjian sewa beli sepeda motor second hand.
F. Sistematika Pembahasan
Dalam melakukan
pembahasan, akan dibagi dalam empat bagian penulisan dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB I
: Pendahuluan yang meliputi Latar
Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penulisan, Metode
Penulisan, serta Sistematika Pembahasan.
BAB II
: Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum terhadap Konsumen, Dealer sebagai
Pelaku Usaha, Sepeda Motor Second hand, Perjanjian Sewa Beli serta
Ketentuan Pencantuman Klausula Baku pada Pasal 18 UUPK .
BAB
III : Pembahasan yang meliputi Proses Sewa Beli Sepeda Motor Second hand dan
Perlindungan Hukum terhadap Konsumen oleh Dealer Sepeda Motor Second hand berdasarkan
Pasal 18 UUPK .
BAB IV
: Penutup yang terdiri dari Kesimpulan
dan Saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
DALAM PERJANJIAN SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECOND HAND BERDASARKAN PASAL 18
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
1. Perlindungan Hukum
a. Pengertian perlindungan hukum adalah
melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang
sama oleh hukum dan undang-undang, maka oleh karenanya setiap pelanggaran hak
yang dituduhkan padanya dan pembelakangan yang dideritanya, ia berhak pula
untuk mendapatkan yang diperlukan, sesuai dengan azas negara hukum.
b.
Menurut Satjipto Raharjo, Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan kepada masyarakat, agar dapat mereka nikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum.
c.
Perlindungan hukum menurut Adnan Buyung Nasution, adalah melindungi harkat dan
martabat manusia dan melindungi sesuatu dari 8 Mukadimah Konsep Penyempurnaan
Anggaran Dasar, Peraturan Rumah Tangga, Kode Etik Advokad, Hukum Acara Dewan
Kehormatan, untuk disahkan Kongres ke-6 Peradilan di Bandung, 4 – 6 Juni 1981,
Panitia Penyelenggara Peradilan pemerkosaan, yang dasarnya serangan hak kepada
orang lain telah melanggar dari aturan norma hukum dan undang-undang.
Dari ketiga pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian perlindungan hukum adalah segala
upaya hukum yang wajib diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan
rasa aman baik secara fisik maupun mental dari ancaman, gangguan, teror atau
kekerasan dari pihak manapun berdasarkan asas negara hukum.
Dengan adanya pengakuan
jaminan pemberian perlindungan tersebut diharapkan korban mendapatkan
perlindungan hukum dimana perlindungan yang diberikan oleh hukum terkait dengan
adanya hak dan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen dan pelaku usaha dalam
kegiatannya.
2. Konsumen
a. Pengertian Konsumen
Konsumen yaitu setiap
orang atau pembeli atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara
pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk
dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial. bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Selanjutnya untuk mempertegas makna dari barang dan/atau jasa yang
dimaksudkan, UUPK juga memberikan definisi dari barang yaitu setiap benda, baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan jasa adalah
setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Menurut Shidarta, konsumen
dapat juga diartikan setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Masyarakat umum mengartikan
konsumen sebagai pembeli, penyewa, nasabah dari suatu lembaga jasa
perbankan/asuransi, penumpang dari angkutan kota, pelanggan suatu perusahaan, dan masih banyak
lagi lainnya.
Pengertian yang diberikan
oleh masyarakat tersebut tidaklah salah sebab secara yuridis dalam hukum
positif Indonesia
terdapat subyek 12 Gunawan Widjaja. hukum yang dianggap sebagai konsumen. Dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata digunakan istilah pembeli (Pasal 1457 dst),
penyewa (Pasal 1548 dst), peminjam pakai (Pasal 1470 dst) dan lain sebagainya. Semuanya
memang dimaksudkan sebagai konsumen, pengguna barang dan jasa, namun tidak
jelas apakah konsumen antara ataukah konsumen akhir.
Sesuai dengan ruang
lingkup UUPK, menurut Shidarta ada 2 jenis konsumen diantaranya konsumen akhir
(end consumer) yaitu setiap orang yang langsung mengkonsumsi barang dan
atau jasa dan konsumen antara (intermediate consumer) yaitu setiap
konsumen yang membeli suatu barang untuk kemudian dijual kembali kepada end
consumer. UUPK hanya melindungi konsumen akhir sedangkan konsumen antara tidak
dilindungi oleh UUPK karena telah diatur dalam peraturan-peraturan tentang
perdagangan.
Berdasarkan pengertian
‘konsumen’ yang ada, maka secara umum konsumen dapat diartikan secara luas
maupun sempit. Secara luas, konsumen mencakup semua pemakai barang dan atau
jasa, yang berarti pengertian ini tidak dibatasi apakah penggunaan barang dan
atau jasa tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhannya atau untuk didistribusikan
lagi kepada orang lain. Sedangkan secara sempit, pengertian konsumen mengacu
pada konsumen akhir.
Lahirnya UUPK merupakan implementasi dari upaya untuk
untuk melindungi kepentingan konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen identik
dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen, artinya sebelum lahirnya
UUPK kepentingan pelaku usaha dianggap lebih penting daripada hak-hak dan
kepentingan konsumen serta jika terjadi penindasan terhadap hak-hak konsumen,
untuk pemidanaannya tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.
Adanya UUPK diharapkan
dapat menjadi dasar hukum yang kuat dalam upaya pemerintah membenahi posisi
konsumen yang selalu dilemahkan oleh pelaku usaha agar dapat berada di posisi yang
sejajar dengan pelaku usaha.
Dalam usaha untuk membenahi posisi konsumen yang
selama ini selalu dilemahkan oleh pelaku usaha, maka UUPK mengatur tentang hak
dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
a. Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak konsumen menurut Pasal 4 UUPK :
1) Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa
2) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang
dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan
3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang dipergunakan
5) Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen
7) Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sebagaimana mestinya 9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UUPK :
1)
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
2)
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
3)
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4)
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha menurut Pasal 6 UUPK :
1) Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
2) Hak
untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak
beritikad baik
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya
didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4) Hak
untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
perundang-undangan lainnya Kewajiban pelaku
usaha menurut Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen:
1) beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya
2) memberikan informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3) memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif
4) menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/jasa yang berlaku
5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan
6)
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
7)
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
B. Dealer sebagai Pelaku Usaha
Pasal 1 angka 3 UUPK
menyebutkan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Sebagai suatu jenis usaha
yang melayani jual beli maka dealer dapat digolongkan sebagai pelaku usaha. Hal
ini dapat kita lihat bahwa berdasarkan pengertian pelaku usaha yang ada dalam
UUPK maka dealer telah memenuhi unsur-unsur sebagai pelaku usaha diantaranya:
a. setiap orang
perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum Dealer sebagai subyek hukum, sesuai dengan jenis subyek hukum yaitu orang
perorangan ataupun badan usaha yang memiliki hak dan kewajiban dalam hukum.
b. yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia Bahwa dealer tersebut berada di
wilayah Negara Republik Indonesia
c. baik sendiri maupun bersama-sama Sebagai jenis usaha
yang harus menyediakan dana besar, maka tidak jarang dealer didirikan oleh
beberapa orang atau bahkan bisa oleh satu orang yang memiliki dana besar
d. melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha Dalam suatu jenis usaha, biasanya
diadakan suatu perjanjian kerjasama untuk menjalankan suatu usaha.
e. dalam berbagai bidang ekonomi Dalam bidang ekonomi
dapat berarti menjalankan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan
laba.
Dengan demikian pelaku
usaha dapat berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang besar,
pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk.
C. Pengertian Sepeda Motor Second hand
1. Sepeda Motor
Sebagai salah satu jenis
alat transportasi, kendaraan bermotor roda dua sangat banyak dan mudah kita
jumpai. Namun, dalam bahasa sehari-hari, kendaraan bermotor roda dua biasa
disebut sepeda motor. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘sepeda’ berarti
kendaraan beroda dua atau tiga yang mempunyai stang, tempat duduk dan sepasang pengayuh
yang digerakkan kaki untuk menjalankannya. Sedangkan pengertian sepeda motor
yaitu sepeda yang dijalankan dengan motor.16 Untuk memahami pengertian
kendaraan bermotor roda dua, maka terlebih dahulu akan dijelaskan arti dari
kendaraan, dan kendaraan bermotor berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 44
tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi :
a.
kendaraan adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan
bermotor dan kendaraan tidak bermotor (Pasal 1 angka 2)
b.
kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang
berada pada kendaraan itu. (Pasal 1 angka 3) Peralatan teknik dalam pengertian
ini dapat berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah
suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang
bersangkutan. Pengertian kata ‘berada’ dalam ketentuan tersebut adalah
terpasang pada tempat sesuai dengan fungsinya. Termasuk dalam pengertian
kendaraan bermotor adalah kereta gandengan atau kereta tempelan yang
dirangkaikan dengan kendaraan bermotor sebagai penariknya.
Definisi sepeda motor
menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1993 tentang
Kendaraan dan Pengemudi yaitu kendaraan bermotor roda dua atau tiga tanpa
rumah-rumah baik dengan atau tanpa kereta samping. Maksud dari rumah-rumah
disini adalah bagian dari kendaraan bermotor jenis mobil penumpang atau mobil
bus atau mobil barang yang berada pada landasan berbentuk ruang muatan, baik
untuk orang maupun barang.
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 44 tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, untuk memenuhi
kriteria dari kendaraan bermotor roda dua atau jenis sepeda motor itu maka
harus dipenuhi persyaratan teknis antara lain:
a.
kendaraan bermotor yang dioperasikan dijalan harus memiliki motor penggerak
yang mempunyai daya untuk dapat mendaki pada jalan tanjakan dengan kecepatan
minimum 20 km per jam pada segala kondisi jalan (Pasal7)
b. pada
motor penggerak itu harus dibubuhkan nomer motor penggerak yang ditempatkan
secara permanen pada bagian tertentu dan mudah dilihat serta dibaca (Pasal 8)
c.
setiap kendaraan jenis sepeda motor yang menggunakan bahan bakar bensin atau
bahan bakar cair lainnya yang mudah terbakar, maka harus memiliki tangki bahan
bakar, corong pengisi dan lubang udara bahan bakar serta pipa-pipa yang berfungsi
menyalurkan bahan bakar (Pasal 10) 16 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
d.
kendaraan bermotor jenis sepeda motor juga harus memiliki sistem pembuangan
yang terdiri dari manifold, peredam suara dan pipa pembuangan yang tidak
menonjol melewati sisi samping atau sisi belakang kendaraan bermotor (Pasal 13
ayat 1)
e.
setiap kendaraan jenis sepeda motor harus dilengkapi dengan alat penerus daya
yang memungkinkan kendaraan bermotor itu bergerak maju dengan satu atau lebih
tingkat kecepatan yang dapat dikendalikan dari tempat duduk kemudi (Pasal 14)
f.
dalam kendaraan jenis sepeda motor yang rodanya dipasang simetris terhadap
sumbu tengah kendaraan yang membujur kedepan harus dilengkapi dengan peralatan
pengereman pada roda depan dan roda belakang. Peralatan rem pada sepeda motor
harus dapat dikendalikan kecepatannya oleh pengemudi dari tempat duduknya tanpa
melepaskan tangannya dari stang kemudi (Pasal 19)
g.
pada Pasal 41 disebutkan pula bahwa setiap kendaraan bermotor jenis sepeda
motor harus dilengkapi dengan lampu-lampu yang meliputi :
1) lampu utama dekat
2) lampu utama jauh
3)
lampu penunjuk arah secara berpasangan dibagian depan dan belakang sepeda motor
4)
lampu posisi depan
5)
lampu posisi belakang
6) lampu rem
7) lampu penerangan tanda nomer kendaraan
8) satu lampu pemantul cahaya
h.
komponen pendukung pada sepeda motor terdiri dari pengukur kecepatan untuk
kendaraan bermotor yang memiliki kemampuan kecepatan 40 km per jam atau lebih
pada jalan datar, kaca spion dan klakson (Pasal 70) Jadi kendaraan bermotor
roda dua adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang terpasang
pada satu sumbu, serta tidak dilengkapi dengan rumah-rumah baik dengan atau
tanpa kereta samping. Jenis kendaraan bermotor roda dua disini adalah sepeda
motor.
2. Second hand
Berdasarkan
terminologinya, second hand berasal Bahasa Inggris yang terdiri dari dua
kata yaitu second dan hand. Dalam Bahasa Indonesia, second berarti
kedua atau nomer dua dan hand berarti tangan atau dapat juga berarti kekuasaan.
Jadi second hand dapat berarti tangan kedua atau kekuasaan kedua yang
jika ditinjau dari segi Bahasa Indonesia maka tangan kedua adalah bukan tangan
pertama atau bahwa barang tersebut bukanlah barang yang baru, melainkan barang
yang sudah atau pernah dipakai sebelumnya atau dapat juga diartikan sebagai
‘kekuasaan kedua’.
Sepeda motor tangan kedua
juga dapat berarti sepeda motor bekas. Sedangkan kata ‘bekas’, menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia sama artinya dengan sudah pernah dipakai. Dari
penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud Sepeda motor second
hand adalah kendaraan bermotor roda dua yang bukan baru, dalam arti sudah
pernah dipakai oleh pemilik sebelumnya dan telah didaftarkan pada instansi yang
berwenang atau telah memiliki nomer polisi.
D. Perjanjian Sewa Beli
Sewa beli merupakan
lembaga hukum yang timbul sebagai akibat kebutuhan praktek. Perjanjian sewa
beli timbul berawal dari sering terjadinya seseorang yang ingin membeli sesuatu
barang tapi tidak mempunyai cukup uang untuk membayar keseluruhan harga barang
yang ingin dibelinya. Dalam hal tersebut, kemudian dimungkinkan bagi pihak
pembeli untuk membayar harga pembelian tersebut secara berangsur-angsur selama
jangka waktu tertentu.
Pada saat dahulu tidak ada
kesepakatan/perjanjian secara tertulis diantara para pihak pembeli maupun
penjual. Para pihak baik pihak penjual maupun
pihak pembeli hanya mengandalkan sistem kepercayaan diantara masing-masing
pihak. Masalah akan timbul ketika terjadi pengingkaran tanggung jawab yang
dilakukan oleh salah satu ataupun kedua belah pihak.
Tidak adanya
perjanjian/kesepakatan secara tertulis menyebabkan tidak adanya sanksi hukum
yang bisa diterapkan. Dalam prakteknya, semakin meningkatnya kebutuhan
masyarakat dibidang ekonomi tersebut menciptakan suatu bentuk perjanjian yang dinamakan
sewa beli dimana perjanjian pokoknya dinamakan sewa menyewa barang, dengan
akibat bahwa si penerima barang belum menjadi pemilik, melainkan sebagai
pemakai saja selama keseluruhan uang pembayaran barang belum dilunasi. Dalam
hal ini hak milik atas barang masih tetap berada di tangan penjual. Jika
keseluruhan uang pembayaran harga barang tersebut sudah dilunasi, maka status
penyewa dengan sendirinya beralih menjadi pembeli, yaitu dimana barang sudah
menjadi hak miliknya.
Sewa beli harus dibedakan
dengan jual beli, demikian menurut Subekti, karena dalam perjanjian jual beli
barang beserta hak miliknya diserahkan kepada pembeli, namun harganya boleh
dicicil. Sehingga dengan demikian, maka pembeli dengan seketika sudah menjadi
pemilik mutlak dari barangnya dan tinggal ia mempunyai hutang kepada si penjual
berupa harga/sebagian dari harga yang belum dibayarnya.
Walaupun belum diatur
dalam perundang-undangan, tetapi bentuk sewa beli ini sangat populer di
masyarakat kita. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya peminat bentuk
perjanjian sewa beli dan beragamnya jenis barang yang dijadikan obyek sewa
beli. Besarnya peminat bentuk sewa beli ini disebabkan karena besarnya
keuntungan yang bisa didapat oleh pembeli lain pembeli dapat memperoleh barang
yang diinginkan dengan cara mudah dan ringan karena pembayarannya dapat
diangsur serta disisi lain penjual dapat memperoleh keuntungan dari penjualan
barangnya dengan resiko yang lebih kecil karena ada jaminan yang dapat ditahan
yaitu surat hak
milik atas barang. Berkaitan dengan masalah sewa beli, pemerintah mengeluarkan
Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan
Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan
Sewa (Renting). Disini terlihat adanya kepedulian pemerintah akan
pentingnya lembaga sewa beli di masyarakat kita sekaligus memberikan landasan
perlindungan hukum dan status serta kedudukan para pihak yang terlibat dalam
perjanjian sewa beli.
1. Pengertian Perjanjian Sewa Beli
Perjanjian sewa beli
merupakan suatu bentuk perjanjian yang lahir karena ciptaan praktek di
masyarakat, sehingga KUH Perdata kita tidak mengaturnya. Sebagai bentuk
perjanjian baru yang tidak diatur dalam KUH Perdata, bukan berarti bentuk
perjanjian sewa beli ini terpisah dari ketentuanketentuan yang sudah ada.
Perjanjian sewa beli merupakan penggabungan dari dua bentuk perjanjian yaitu
perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli, sehingga perjanjian sewa beli
memiliki substansi yang didalamnya menyangkut pengertian sewa menyewa dan jual
beli. Hal tersebut dapat kita temukan dalam rumusan dan ketentuan-ketentuan
mengenai perjanjian sewa beli.
Dalam Pasal 1 sub a Surat
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan
Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan
Sewa (Renting) disebutkan bahwa :
Sewa Beli (hire purchase) adalah jual beli barang di
mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang
telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak
milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah
jumlah harganya dibayar
lunas oleh pembeli kepada penjual.
Sedangkan menurut Wirjono
Prodjodikoro, sewa beli adalah perjanjian yang berpokok pada sewa menyewa
barang dengan akibat bahwa si penerima barang tidak akan menjadi pemilik
melainkan pemakai belaka. Baru kalau uang sewa telah dibayar berjumlah sama
dengan harga pembelian, sipenyewa menjadi pembeli, yaitu barangnya menjadi
miliknya. Rumusan sewa beli menurut J. Satrio adalah :
Perjanjian sewa beli bukan
sebagai perjanjian sewa menyewa tapi sebagai suatu variasi tersendiri dari
perjanjian jual beli dengan angsuran, antara lain bahwa hak milik untuk
sementara masih ada pada penjual sewa sampai seluruh angsuran sewa beli
dilunasi maka hak milik otomatis, tanpa perbuatan penyerahan lagi beralih pada pembeli
sewa. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan sewa beli sebenarnya adalah suatu
macam jual beli, setidak-tidaknya ia lebih mendekati jual beli daripada sewa
menyewa meskipun ia tidak merupakan campuran dari kedua-duanya dan diberikan
judul sewa menyewa. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, diambil suatu
kesimpulan bahwa sewa beli merupakan perpaduan dari dua bentuk perjanjian yaitu
perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli. Sebagai suatu perjanjian yang
merupakan penggabungan dari dua macam perjanjian maka dalam perjanjian sewa
beli mengandung unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian jual beli maupun
perjanjian sewa menyewa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang
terdapat dalam perjanjian sewa beli antara lain:
a. Saat
penyerahan barang hak milik atas barang tersebut belum berpindah
b. Terdapat
kewajiban membayar harga barang dalam jangka waktu tertentu
c.
Setelah harga barang terbayar lunas, maka barulah hak milik atas barang tersebut
berpindah kepada si pemilik.
Dalam perjanjian sewa beli, kedudukan penjual sewa
terhadap obyek sewa beli relatif terjamin karena jika pembeli sewa
menghilangkan atau menjual obyek sewa beli maka pembeli sewa dapat dituduh
melakukan tindak pidana penggelapan atas benda milik penjual sewa.
2. Persyaratan Umum Sewa Beli
Perjanjian sewa beli
sebagai salah satu bentuk dari perjanjian tentunya memiliki persyaratan yang
harus dipenuhi para pihak sebelum melaksanakan perjanjian agar dianggap sah dimuka hukum,
dalam artian tidak dapat diganggu gugat dikemudian hari oleh siapapun atau
karena apapun. Persyaratan ini terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang
mencantumkan agar suatu perjanjian harus memenuhi:
a. sepakat mereka yang telah mengikatkan dirinya
b. cakap untuk membuat suatu perjanjian
c. mengenai suatu hal tertentu
d. suatu sebab yang halal
Kedua syarat pertama
adalah merupakan syarat subyektif yaitu mengenai subyek orang / orang-orang
yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat kedua adalah merupakan syarat
obyektif yaitu mengenai perjanjian itu sendiri / obyek dari perbuatan hukum
yang dilakukan tersebut.
3. Subyek Sewa Beli
Subyek hukum dalam
perjanjian adalah para pihak dalam perjanjian tersebut. Subyek hukum ini
berarti orang yang mempunyai hak, manusia pribadi/badan hukum yang berhak,
berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana umumnya perjanjian,
subyek perjanjian dapat berupa :
a. Subyek badan hukum
Badan hukum adalah
perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek
hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian, dsb. Dalam
Pasal 3 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun
1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual
Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting) disebutkan bahwa kegiatan usaha
sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran, dan sewa (renting),
hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perdagangan nasional.
b. Subyek perorangan
Seseorang yang dapat
menjadi subyek perorangan dalam suatu perjanjian haruslah memenuhi
syarat-syarat :
1) dewasa
2) sehat
pikiran
3) tidak dilarang oleh hukum atau tidak dibatasi
dalam hal melakukan perbuatan hukum yang sah. Orang atau persoon sebagai
pendukung hak dan kewajiban dalam Perjanjian Sewa Beli dapat dibagi :
a. pemilik atau penjual sewa sebagai kreditur
b. penyewa atau pembeli sewa sebagai debitur
4. Obyek Sewa Beli
Obyek sewa beli dapat
berupa sesuatu hal yang mempunyai sifat kebendaan dan bersifat konsumtif.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Menteri
Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha
Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting)
disebutkan bahwa :
Barang-barang yang boleh
disewa belikan (hire purchase), dan dijual belikan dengan angsuran
adalah semi barring niaga tahan lama yang baru dan tidak mengalami
perubahan teknis, baik berasal dari hasil produksi sendiri ataupun hasil
produksi/perakitan (assembling) lainnya di dalam negeri, kecuali apabila
produksi dalam negeri belum memungkinkan untuk itu.
Berdasarkan Pasal tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa barang yang dapat menjadi obyek daripada
Perjanjian Sewa Beli adalah barang semi barring niaga tahan lama yang
masih baru dan tidak mengalami perubahan teknis.
5. Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Beli
Dalam melaksanakan suatu
perjanjian, dapat saja terjadi hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan dari
perjanjian itu sendiri yang berasal dari salah satu pihak dalam perjanjian yang
lalai dalam melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Hal tersebut tentunya
sangat merugikan pihak lain karena kepentingannya menjadi terganggu.
Adapun barang sesuatu atau
kewajiban yang dapat dituntut oleh para pihak dalam suatu perjanjian dinamakan
‘prestasi’ yang menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa :
a. menyerahkan sesuatu
b. melakukan suatu
c. tidak melakukan suatu
Debitur yang lalai ini bisa disebut wanprestasi
sehingga menyebabkan ia dapat digugat didepan hakim. Debitur dapat dikatakan
lalai apabila :
a. tidak memenuhi tuntutan prestasi sama sekali
b. terlambat dalam memenuhi prestasi
c. berprestasi tidak sebagaimana mestinya
Akibat wanprestasi dalam perjanjian sewa beli
diantaranya :
a. mengganti kerugian
b. adanya peralihan resiko
c. jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang
timbal balik, kreditur dapat minta pembatalan (pemutusan) perjanjian.
E. Ketentuan Pencantuman Klausula Baku pada Pasal 18
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pada dasarnya, perjanjian
dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara kedua belah pihak yang cakap untuk
bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku. Namun, ada saatnya kedudukan kedua belah
pihak dalam perjanjian tidak seimbang sehingga menjadikan kerugian bagi salah
satu pihak.
Dalam praktek dunia usaha, seringkali pelaku usaha
menunjukkan kekuasaannya sebagai pihak yang memiliki kedudukan yang lebih
tinggi daripada konsumen. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat kita lihat
dari pembuatan dokumen perjanjian dan/atau klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha tanpa
melibatkan konsumen. Dikatakan bersifat ‘baku’
karena baik perjanjian maupun klausula tersebut tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan
atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Take it or leave it. Tidak adanya
pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini cenderung merugikan pihak
lain.Untuk melindungi pihak yang memiliki kedudukan yang lebih lemah dibandingkan
pelaku usaha, maka dalam Pasal 18 UUPK dicantumkan ketentuan mengenai larangan
pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian.
Ketentuan Pasal 18 UUPK yaitu :
(1)
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila :
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen
c.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d.
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e.
mengatur pihak pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa
g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
h.
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti.
(3)
Setiap klausula baku
yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
batal demi hukum.
(4)
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku
yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan yang
ada maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan bagi pelaku usaha untuk
membuat perjanjian baku
sepanjang isi atau klausula dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 18 ayat 1 UUPK .
Dalam Pasal 45 ayat 3 UUPK
disebutkan bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan, tidak menghilangkan
tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hal tersebut
berarti bahwa selain hubungan keperdataan antara pelaku usaha dan konsumen, UUPK
juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar UUPK.
Pada dasarnya, aspek hukum pidana dan hukum perdata
memiliki peran dan kesempatan yang sama untuk melindungi kepentingan konsumen.
Namun, didalam praktek hukum keperdataan atau hukum kontrak sering terjadi para
pihak merasa kurang puas menggunakan solusi melalui saran hukum keperdataan dan
arbitrase sehingga berupaya untuk meminta bantuan atau menggunakan sarana hukum
pidana.
Mengenai pelanggaran yang
dilakukan terhadap UUPK tersebut, maka ditetapkan sanksi-sanksi pada Bagian
Kedua UUPK yang terdiri dari:
1. sanksi administratif
2. sanksi pidana pokok
3. sanksi pidana tambahan
Sanksi administratif
diatur pada Pasal 60 yang merupakan hak khusus yang diberikan oleh UUPK kepada
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atas tugas dan/atau kewenangan yang
diberikan oleh UUPK kepada BPSK untuk menyelesaikan persengketaan konsumen
diluar pengadilan.
Menurut Pasal 60 UUPK,
sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan
ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)
terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap tidak dilaksanakannya
ganti rugi oleh pelaku usaha, terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan
produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan serta pelaku usaha
yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual.
Sanksi pidana pokok adalah
merupakan sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas
tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha. UUPK memungkinkan dilakukan penuntutan pidana terhadap pelaku usaha
dan/atau pengurusnya (Pasal 61 UUPK).
Sesuai ketentuan Pasal 62 UUPK ayat (1), penuntutan
pidana dapat dilakukan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, Pasal 17 ayat (2), Pasal 18. Perbuatan-perbuatan
tersebut dapat dituntut pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).
Sedangkan pada Pasal 63 UUPK ditentukan bahwa
terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 dapat dijatuhkan
sanksi pidana tambahan berupa :
a. perampasan barang tertentu
b. pengumuman keputusan hakim
c. pembayaran ganti rugi
d.
perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan ijin usaha
BAB III
PEMBAHASAN PROSES SEWA BELI SEPEDA MOTOR SECOND HAND
SERTA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KONSUMEN
BERDASARKAN PASAL 18 UUPK
A. Gambaran Umum Perusahaan
1. Sejarah Singkat Perusahaan
FIF Motor didirikan pada
tahun 1999 atas inisiatif beberapa orang pelaku usaha yang ingin
menginvestasikan dananya. Pertama kali berdiri, FIF Motor berlokasi di Sudirman
dengan dipimpin oleh seorang direktur yang juga menginvestasikan dananya pada FIF
Motor. Kemudian seiring dengan perkembangan perusahaan, lokasi yang dianggap
lebih strategis yaitu di Jl. Sudirman Kota
Tanjung Balai.
FIF Motor adalah suatu
perusahaan dagang yang bergerak dalam bidang jual beli kendaraan bermotor,
khususnya roda dua baik baru maupun bekas dari segala macam merk. Hal ini
sebenarnya kurang sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Menteri
Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980 Tentang Perizinan Kegiatan Usaha
Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting)
yang menyebutkan bahwa :
Barang-barang yang boleh
disewa belikan (hire purchase), dan dijual belikan dengan angsuran
adalah semi barring niaga tahan lama yang baru dan tidak mengalami
perubahan teknis, baik berasal dari hasil produksi sendiri ataupun hasil
produksi/perakitan (assembling) lainnya di dalam negeri, kecuali apabila
produksi dalam negeri belum memungkinkan untuk itu.Berdasarkan peraturan
tersebut diketahui bahwa barang yang dapat disewa belikan adalah barang yang
masih baru dalam arti belum pernah terpakai, sedangkan dealer menjual kendaraan
sepeda motor bekas dengan sistem sewa beli.
Sebagai penjual sewa,
menurut ketentuan SK. Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34 tahun 1980
Tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purcase), Jual Beli
dengan Angsuran dan Sewa (Renting) Pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa
kegiatan usaha sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran, dan
sewa (renting), hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perdagangan
nasional, sedangkan dalam ayat 2 disebutkan pula bahwa untuk melakukan kegiatan
usaha sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran, dan sewa (renting),
perusahaan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 wajib memiliki izin usaha, dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya.Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan diperoleh keterangan bahwa dalam menjalankan aktivitas jual beli
sepeda motor dengan sistem sewa beli, sebagai perusahaan dagang nasional Dealer
FIF Motor telah memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan sebagai landasan
kegiatannya.
2. Struktur Organisasi Perusahaan
Untuk menjamin kelancaran
aktivitas FIF Motor dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, maka diperlukan
suatu koordinasi yang baik dan untuk memperjelas tugas dan wewenang
masing-masing bagian maka dibentuk struktur organisasi perusahaan.
Dari masing-masing bagian dari struktur tersebut
memiliki tugas antara lain :
a. Direktur
1)
Merupakan pimpinan tertinggi dan bertanggung jawab terhadap aktivitas
perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan
2)
Bertanggung jawab terhadap kelancaran jalannya usaha
3)
Mengkoordinir dan mengontrol bagian-bagian dibawahnya
4)
Mewakili perusahaan dalam hal yang berhubungan dengan pihak ekstern dan
bertindak atas nama perusahaan
5)
Menentukan kebijakan perusahaan, berkaitan dengan pembelian dan penjualan
6)
Melakukan otoritas pemberian kredit
b. Bagian Akuntansi
1)
Bertanggung jawab langsung kepada pimpinan atas laporan keuangan perusahaan
2) Mencatat semua transaksi keuangan yang terjadi
dalam perusahaan
c. Kasir
1) Bertanggung jawab atas keluar masuknya uang
perusahaan
2) Membuat laporan tentang penerimaan dan pengeluaran
kas perusahaan
d. Bagian Administrasi dan Keuangan
1) Menyelenggarakan tertib administrasi dan
ketatausahaan perusahaan
2)
Melakukan penagihan pada pelanggan jika sampai saat jatuh tempo pelanggan belum
membayar
e. Bagian Penjualan
1) Bertanggung jawab atas kegiatan jual-beli kendaraan
f. Bagian Umum
1)
Bertanggung jawab terhadap kondisi kebersihan dan kesiapan kendaraan yang akan
dijual setiap hari
g. Dewan Komisaris
1) Mengontrol dan menilai pekerjaan direktur
2) Menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan
Dalam menjalankan kegiatan
usahanya, Wira Motor melayani sistem pembayaran dengan cara tunai ataupun
kredit. Dalam melayani sistem penjualan secara kredit, selain membiayai dengan
dana perusahaan sendiri, Wira Motor juga bekerjasama dengan perusahaan
pembiayaan untuk memberikan kredit.
1) terlambat membayar angsuran
Dalam hubungan hukum
perdata, wanprestasi karena telah telah terlambat memenuhi kewajibannya dapat
dituntut denda sebagai ganti rugi kepada konsumen.
2) membayar angsuran tapi kurang
Pemenuhan prestasi yang
tidak tepat akan sangat merugikan pelaku usaha secara finansial.
3) tidak membayar angsuran sama sekali
Tidak dipenuhinya prestasi
oleh konsumen akan dapat merugikan pihak pelaku usaha, dan dapat dijadikan
indikasi adanya itikad tidak baik dari konsumen, yang mlanggar hak pelaku
usaha.
4) sepeda motor dialihkan kepada pihak ketiga
Pengalihan sepeda motor
obyek sewa beli kepada pihak ketiga yang merupakan hak milik pelaku usaha oleh
penyewa dapat dituntut secara pidana oleh pelaku usaha yaitu tindak pidana
penggelapan.
5) sepeda motor dibawa kabur keluar kota/pulau
Untuk menghindari
pelacakan terhadap penggelapan yang dilakukan oleh konsumen, biasanya obyek
sewa beli dibawa kabur keluar pulau, dalam hal ini pelaku usaha dapat meminta
bantuan aparat berwenang untuk melakukan penyelidikan.
Untuk melindungi
kepentingan dan hak-hak pelaku usaha terutama dari konsumen yang memounyai
itikad tidak baik, maka dalam Pasal 6 UUPK disebutkan hak-hak pelaku usaha.
Dalam Pasal 6 ayat 2 disebutkan pula
bahwa pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari konsumen yang tidak memiliki itikad tidak baik. Selama
berlakunya perjanjian sewa beli, tidak banyak kasus terjadinya pengingkaran
perjanjian sewa beli dan pemenuhan kebijaksanaan perusahaan yang dilakukan oleh
konsumen. Hal ini disebabkan sadarnya konsumen akan kerugian yang lebih besar
yang akan diterima oleh konsumen jika tidak memenuhi perjanjian maupun
kebijaksanaan pelaku usaha dealer. Konsumen cenderung mengikuti dan melakukan
semua ketentuan yang diberikan oleh pelaku usaha.
Meskpun sudah dilindungi dalam UUPK, namun melihat
resiko-resiko yang tidak kecil tersebut membuat perusahaan menetapkan beberapa kebijaksanaan
antara lain:30
1) Persyaratan kredit
Pemberian kredit tidak
diberikan kepada setiap orang. Pelaku usaha akan mempertimbangkan terlebih
dahulu kemampuan seseorang untuk dapat diberikan kredit. Persyaratan yang
ditetapkan meliputi kelengkapan dokumen KTP suami dan / atau istri, Kartu
Keluarga, penyerahan uang muka dan kesediaan untuk menandatangani surat perjanjian sewa
beli yang telah dipersiapkan oleh pelaku usaha.
2) Jaminan kredit
30 Hasil wawancara dengan Yuswati, Karyawan Bagian
Administrasi dan Keuangan, 20
Desember, 2005, diolah
Untuk mengurangi resiko yang mungkin harus ditanggung
perusahaan sebagai penjual sewa maka perusahaan menetapkan adanya jaminan yang
harus diberikan oleh pembeli sewa. Dalam hal ini, penjual sewa tidak secara
langsung meminta jaminan, namun dilakukan secara langsung dengan melalui
penahanan terhadap surat BPKB (Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor) sampai
kewajiban kredit atas pembayaran sepeda motor telah lunas, baru BPKB kendaraan
tersebut diserahkan kepada pembeli sewa.
3) Jangka waktu kredit
Konsumen atau debitur yang membeli sepeda motor second
hand dengan sistem sewa beli dapat memilih jangka waktu kredit yang diinginkannya,
dengan ketentuan maksimum jangka waktu kredit adalah 36 bulan atau 3 tahun,
dengan angsuran yang wajib dibayarkan konsumen setiap bulannya.
4) Kebijaksanaan penagihan
Dalam menangani debitur/pembeli sewa yang belum
membayarkan kewajibannya sampai melewati jatuh tempo, maka perusahaan menetapkan
kebijaksanaan penagihan sebagai berikut:31
a) Melalui telepon
31 Hasil wawancara dengan Yuswati, Karyawan Bagian
Administrasi dan Keuangan, 20
Desember, 2005, diolah
Bilamana keterlambatan pembayaran berlangsung selama
satu minggu, maka pihak perusahaan akan mengingatkan pembeli sewa secara
pribadi dengan menelepon untuk segera melakukan pembayaran
b) Kunjungan personal
Kunjungan personal ke tempat tinggal pembeli sewa
dilakukan bila pembeli sewa tidak memenuhi kewajibannya selama satu bulan. Hal ini
dilakukan untuk menyelidiki apa yang menjadi alasan keterlambatan pembayaran
sekaligus untuk menentukan langkah yang akan diambil oleh pelaku usaha.
c) Tindakan yuridis
Bilamana telah 3 bulan sejak saat jatuh tempo, pihak
pembeli sewa belum dapat melunasi tunggakannya, maka perusahaan akan mengambil
kembali kendaraan dengan cara damai, namun jika terpaksa pelaku usaha akan
meminta bantuan kepada pihak yang berwajib.
B.
Prosedur Sewa Beli Sepeda Motor Second hand pada Dealer ‘FIF Motor”
Prosedur penjualan secara
kredit yang dilakukan oleh PT. Multiwira Tunggal Sarana sebagai penjual sewa
adalah sebagai berikut:
a. Negosiasi harga
Dalam tahap ini, setelah
calon konsumen menetapkan kendaraan yang dipilihnya, maka calon konsumen akan
mengajukan sejumlah pertanyaan dan penawaran berkaitan dengan kondisi kendaraan
tersebut kepada pihak dealer. Dalam negosiasi ini, perusahaan menetapkan
kebijakan harga jual yaitu bahwa patokan keuntungan yang diperoleh adalah Rp
50.000 sampai dengan Rp 300.000 dari harga pembelian kendaraan.
b. Penetapan harga jadi dan syarat pembayaran
Harga yang telah
disepakati oleh pihak konsumen dan pelaku usaha adalah ‘harga jadi’ yang harus
dibayar oleh konsumen. Dalam penetapan harga jadi tersebut, termasuk didalamnya
adalah penetapan besarnya uang muka yaitu kira-kira sebesar 40 % dari harga
jual kendaraan dan besarnya angsuran yang harus dibayar oleh konsumen setiap
bulannya beserta jangka waktu kredit. mengenai unsur-unsur sewa beli yang
berlaku di masyarakat, yaitu bahwa terdapat kewajiban untuk membayar sisa harga
barang dalam jangka waktu tertentu.
c. Penyerahan dokumen dan persyaratan kredit
Dalam tahap ini, calon konsumen diminta untuk
menyerahkan surat-surat sebagai syarat pembeli sewa yang ditetapkan oleh dealer
diantaranya :
1) Fotocopi KTP suami istri
2) Fotocopi Kartu Keluarga
Dokumen identitas diri
tersebut selanjutnya akan diajukan sebagai persyaratan kredit kepada direktur
perusahaan untuk kemudian diberikan persetujuan kredit.
Sedangkan persyaratan kredit adalah berupa penyerahan
uang muka yang telah disepakati, bersamaan dengan penandatanganan perjanjian
sewa beli oleh calon konsumen. Karyawan bagian administrasi akan menyerahkan dokumen
perjanjian sewa beli kepada konsumen sepeda motor second hand untuk
kemudian ditandatangani Sebelum menandatangani perjanjian sewa beli tersebut,
hanya sebagian kecil calon konsumen yang membaca isi dari perjanjian.
d. Persetujuan Kredit
Apabila konsumen telah
menyerahkan dokumen yang diperlukan dan jika memenuhi persyaratan yang
ditetapkan, maka direktur akan memberikan persetujuan kreditnya.
e. Penyerahan kendaraan
Apabila pengajuan kredit
telah disetujui, maka kendaraan diserahkan kepada pembeli sewa beserta STNK
(Surat Tanda Nomer Kendaraan). Sedangkan BPKB (Bukti Pemilik Kendaraan
Bermotor) sebagai bukti kepemilikan sepeda motor masih tetap dipegang oleh
pihak perusahaan. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan ciri sistem sewa beli
bahwa selama harga pembayaran belum dilunasi, maka hak milik atas obyek sewa
beli masih berada ditangan penjual sewa, sehingga pembeli sewa tidak dapat mengalihkan
kendaraan dengan cara apapun.
f. Angsuran kredit
Pada tahap ini pembeli
sewa wajib melakukan pembayaran angsuran setiap bulan pada waktu yang telah
ditentukan. Dalam jangka waktu angsuran yang telah ditetapkan bersama tersebut,
calon pembeli sewa harus membayarkan angsuran kepada penjual sewa. Dalam masa
tersebut, selama angsuran belum dilunasi, maka konsumen masih berstatus sebagai
penyewa.
g. Pelunasan kredit
Kredit akan dianggap lunas
bila pembeli sewa telah melunasi seluruh kewajibannya sebagai pembeli sewa.
Sesuai dengan teori sewa beli, maka dengan lunasnya
keseluruhan harga obyek sewa beli, secara otomatis hak milik atas obyek sewa
beli beralih kepada pembeli sewa.
h. Penyerahan BPKB
Setelah melengkapi seluruh
kewajiban kreditnya, maka surat
BPKB kendaraan bermotor sebagai bukti hak milik atas obyek sewa beli akan diserahkan
oleh penjual sewa kepada pembeli sewa. Dengan demikian terputuslah hubungan
perikatan antara pembeli dan penjual sewa.
C.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Sewa Beli Sepeda Motor Second
hand berdasarkan Pasal 18 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
Berdasarkan penelitian
yang telah dilaksanakan, diketahui bahwa kesepakatan mengenai pembelian sepeda
motor second hand secara kredit dengan sistem sewa beli pada Dealer Wira
Motor dituangkan secara tertulis dalam suatu bentuk Perjanjian Sewa Beli. Pihak
pelaku usaha dealer telah menyediakan dokumen perjanjian sewa beli tersebut
dalam bentuk dokumen yang telah diperbanyak untuk keefektifan dan kemudahan
pelayanan jual-beli.
Dengan menandatangani dokumen perjanjian sewa beli
sepeda motor tersebut, maka secara tidak langsung para pihak telah mengikatkan
dirinya dalam satu perjanjian sewa beli sepeda motor second hand dengan
sistem sewa beli. Dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen
di Indonesia,
maka perlu diperhatikan berbagai macam peraturan-peraturan
perundangan yang mempunyai
tujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen. Untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap konsumen dalam suatu perjanjian maka dalam Pasal 18
ayat 1 UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen
c.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d.
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e.
mengatur pihak pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa
g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
h.
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan
pembahasan yang telah dilaksanakan, maka dibuat kesimpulan sebagai berikut :
1. Prosedur sewa
beli pada Dealer Wira Motor telah ditetapkan dalam perjanjian Sewa Beli yang
dilaksanakan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan. Tahap-tahap prosedur sewa
beli pada Dealer Wira Motor diantaranya negoisasi harga, penetapan harga jadi
dan syarat pembayaran, penyerahan dokumen dan persyaratan kredit, persetujuan
kredit oleh direktur perusahaan, penyerahan kendaraan, angsuran kredit,
pelunasan kredit serta tahap terakhir yaitu penyerahan bukti hak milik atas
obyek sewa beli.
2. Perlindungan
hukum yang didapatkan konsumen dalam Perjanjian Sewa Beli pada Dealer Wira
Motor dapat dilaksanakan dengan baik disebabkan tepatnya kebijaksanaan
perusahaan yang diberikan bagi konsumen yang bermasalah, meskipun belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-undang Perlindungan
Konsumen. Perlindungan hukum yang belum sesuai dengan ketentuan Pasal 18
Undang-undang Perlindungan Konsumen diantaranya adalah bahwa perjanjian sewa
beli akan batal dengan sendirinya jika dalam waktu tujuh hari konsumen
terlambat membayar angsuran, bahwa dalam hal wanprestasi tidak diperlukan keputusan
hakim karena ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dilepaskan oleh para
pihak, bahwa jika terjadi pembatalan perjanjian maka angsuran dan uang muka
dianggap ganti rugi, adanya ketentuan bahwa pelaku usaha tidan menanggung
segala cacat/kerusakan pada obyek perjanjian sewa beli, serta ketentuan bahwa
penyewa harus tetap memenuhi kewajibannya jika obyek sewa beli musnah.
B. Saran
1. Diperlukan kebijakan yang dilaksanakan secara tegas dan
konsisten dalam pengaturan sistem sewa beli yang semakin berkembang di masyarakat
agar hak-hak konsumen dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
2. Kebijaksanaan
perusahaan yang baik dan tidak terlalu merugikan konsumen akan sangat membantu
proses kesetaraan kedudukan antara pelaku usaha/penjual sewa dan
konsumen/pembeli sewa dalam Perjanjian Sewa Beli.